Total Pageviews

February 13, 2014

Dimensi Part 2 ~Reality~




Jadi, inilah dimensi milikku seorang. Tempatku memadu kasih tanpa saling menatap. Tempatku merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempatku terbebas dari "cinta" yang membelenggu. 


Dan selamanya aku ingin tetap begitu. 


Kecuali, ...



Kecuali bukan begitu yang terjadi. Kecuali Tuhan berkehendak lain. Deus ex machina. I Ching. Atau mungkin Ia hanya tidak ingin mengijabah keinginanku yang mendamba dimensi abadi mahasempurna itu.

Entahlah. Siapa yang bisa menebak rencana Sang Perencana? Siapa pula yang bisa tahu Sang Mahatahu?

“Kamu lewat Keong, ga?” suara halus sekonyong-konyong menyapa.

Aku mendongak, tetapi tidak menoleh. Tanganku yang tadinya sibuk mengambil helm terhenti. Aku mengenal suara ini.
Aku menelan ludah dan memberanikan diri untuk menoleh.

Benar saja. Ia berdiri di sana, menatapku dengan pandangan cemas. Beberapa bulir keringat membasahi keningnya yang elok.

Aku berdiri tegak dengan perlahan. Mempelajari pandangannya. Gelagatnya. Wajahnya. Jemarinya.

Sang Ratu dalam dimensi. Ia berdiri tepat di hadapanku. Berbicara denganku. Menatap mataku. Mengunci pandangannya kepadaku.

Sang Ratu menjelma nyata kini.

“Ma... maaf. Aku buru-buru sekali. Apa kamu lewat Keong? Aku ikut, ya, sampai sana?” suara lembutnya mengalun seperti simfoni.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti bertemu idola yang tiba-tiba melompat keluar dari televisi.

Aku memberikannya helm yang sejak tadi kupegang.

Ia menatap helm itu, lalu kembali menatapku. “Makasih, ya. Maaf, ngerepotin,” ujarnya sambil meraih helm dan memakainya.

Sayang sekali jarak dari kantor ke Keong sangat dekat... atau mungkin terasa sangat dekat. Ia hanya diam sepanjang jalan. Tangannya ia jauh-jauhkan dariku, lebih memilih handle jok motor. Aku tahu ia mengenalku, meski hanya sebatas wajah dan nama. Itulah sebabnya ia berani meminta tolong. Namun, aku bisa merasakan gelagat ganjil yang memancar dari pesonanya. Aku tahu ia menjaga jarak.

Aku tahu ia terluka.

“Aku ... sebenarnya hari ini aku mengajar privat. Tapi sebelum pulang tadi, orang tua muridku menelepon. Jadwalnya diganti besok,” aku berteriak-teriak untuk mengatasi deru suara motor dan menoleh sekilas ke arahnya. Ia tampak bingung.

Aku tersenyum tipis. “Jadi, aku bisa ke mana saja hari ini.”

Ia tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, “Aku harus sampai di Cibubur 20 menit lagi.”

Kalimat itu laksana titah Sang Ratu.

“Aku bisa 15 menit!” aku menggas motorku sampai maksimal, berkelit-kelit dari angkot dan bus.

***

Olipp: gile. Lo serius mau ngelamar dia??

Me: Makanya gue tanya pendapat lo.
Kalo gue serius, gmn?

Olipp: dia Katolik atau protestan??

Me: Protestan.

Olipp: trus beda umurnya berapa? 14 taon?

Me: 15.

Olipp: bufett deh yaa. Emang dia cantik yak?
Apa ga keliatan tua gitu dgn umur segitu?

Me: Ga tau deh ya. Yg jelas cuma dia
yang paling bisa narik perhatian gue.

Olipp:Waduuh, men. Kan masih banyak cewek laen yang seagama, seumuran, ga sekantor, blablabla.

Me: Ga ngerti gue juga.
Cuma gue emang ga bisa 
ngeboongin perasaan gue aja.


***


Dhifa: Hoo. Yaudh gue sih dukung2 aja,
asal awas lo jangan maenin perasaan dia.
Dia itu udah kayak mbak gue sendiri.


Me: Iya, iya.

Dhifa: Tapi kok lo tiba2 serius
pengen nikah gini sih?
Lo tau konsekuensinya?
Kalo dia ga mau ikut agama lo, gimana?

Me: Yaa, gue rasa gue udah mulai capek.
 Gue pengen ngejalanin sisa idup gue
 sama pendamping yang gue sayangin.
Masalah agama ... kami bisa nikah diem2.

***


Magno: Yaaay! Semangat! Ayo!!!

Me: bener lo dukung?

Magno: Yaiyalah. Dukung.

Me: Lo yakin, dengan semua
 perbedaan kami, kami masih
 tetep bisa bahagia?

Magno: kalo ngeliat dari 
karakter lo dan dia, 
gue rasa ga akan ada
masalah sihh. Semangattt!

***


Semua sahabat mendukung. Tapi ...

“Lebih baik kita seperti dulu aja. Jangan aneh-aneh,” suara halusnya kini terdengar seolah-olah menggelegar. Mataku tak berkedip. Sembilu dan ngilu menari-nari dalam hati. Aku sampai harus menahan napas saking sakitnya.

Sakit. Tak terperikan. Bahkan tak tersentuh air mata.

Sakit.

...

...

Aku tak tahu masa lalu apa. Tapi ia terluka. Hingga kini lukanya belum sembuh. Aku hanya berusaha mengerti. Toh, awalnya ia memang hanyalah Sang Ratu dalam dimensi yang memberikanku kedamaian batin. Melangkahi itu, berarti aku sudah tidak tahu diri dan pantas dihukum.

***

Dimensi 10 detikku pun kembali. Lima meterku yang sangat berharga. Dua belas langkah ultraslow motion yang sangat kunikmati. 

Namun, pada langkah ketiga belas, aku bangkit. Dimensiku melebar menjadi 11 detik, 12 detik, dan aku terus mengikutinya.

Dia berhenti. Aku berhenti. Ia menoleh sekilas, “Aku ikut sampai Keong, ya?”

***


Kini, dimensi adalah milik kami. Tempat kami memadu kasih tanpa saling menatap. Tempat kami saling merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempat kami terbebas dari kebutaan dan belenggu yang mereka sebut “cinta”.

Dan selamanya kami ingin tetap begitu.


Feel my despair
Feel my joy
Then you will know the real me