Jadi, inilah dimensi milikku seorang. Tempatku memadu kasih tanpa saling menatap. Tempatku merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempatku terbebas dari "cinta" yang membelenggu.
Dan selamanya aku ingin tetap begitu.
Kecuali, ...
Kecuali bukan begitu yang terjadi. Kecuali Tuhan
berkehendak lain. Deus ex machina. I Ching. Atau mungkin Ia hanya tidak
ingin mengijabah keinginanku yang mendamba dimensi abadi mahasempurna itu.
Entahlah. Siapa yang bisa menebak rencana Sang
Perencana? Siapa pula yang bisa tahu Sang Mahatahu?
“Kamu lewat Keong, ga?” suara halus
sekonyong-konyong menyapa.
Aku mendongak, tetapi tidak menoleh. Tanganku yang
tadinya sibuk mengambil helm terhenti. Aku mengenal suara ini.
Aku menelan ludah dan memberanikan diri untuk
menoleh.
Benar saja. Ia berdiri di sana, menatapku dengan
pandangan cemas. Beberapa bulir keringat membasahi keningnya yang elok.
Aku berdiri tegak dengan perlahan. Mempelajari
pandangannya. Gelagatnya. Wajahnya. Jemarinya.
Sang Ratu dalam dimensi. Ia berdiri tepat di
hadapanku. Berbicara denganku. Menatap mataku. Mengunci pandangannya kepadaku.
![]() |
Sang Ratu menjelma nyata kini. |
“Ma... maaf. Aku buru-buru sekali. Apa kamu lewat
Keong? Aku ikut, ya, sampai sana?” suara lembutnya mengalun seperti simfoni.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti
bertemu idola yang tiba-tiba melompat keluar dari televisi.
Aku memberikannya helm yang sejak tadi kupegang.
Ia menatap helm itu, lalu kembali menatapku.
“Makasih, ya. Maaf, ngerepotin,” ujarnya sambil meraih helm dan memakainya.
Sayang sekali jarak dari kantor ke Keong sangat
dekat... atau mungkin terasa sangat dekat. Ia hanya diam sepanjang
jalan. Tangannya ia jauh-jauhkan dariku, lebih memilih handle jok motor.
Aku tahu ia mengenalku, meski hanya sebatas wajah dan nama. Itulah sebabnya ia
berani meminta tolong. Namun, aku bisa merasakan gelagat ganjil yang memancar
dari pesonanya. Aku tahu ia menjaga jarak.
Aku tahu ia terluka.
“Aku ... sebenarnya hari ini aku mengajar privat.
Tapi sebelum pulang tadi, orang tua muridku menelepon. Jadwalnya diganti
besok,” aku berteriak-teriak untuk mengatasi deru suara motor dan menoleh
sekilas ke arahnya. Ia tampak bingung.
Aku tersenyum tipis. “Jadi, aku bisa ke mana saja
hari ini.”
Ia tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, “Aku harus
sampai di Cibubur 20 menit lagi.”
Kalimat itu laksana titah Sang Ratu.
“Aku bisa 15 menit!” aku menggas motorku sampai
maksimal, berkelit-kelit dari angkot dan bus.
***
Olipp: gile. Lo serius mau ngelamar dia??
Me: Makanya gue tanya pendapat lo.
Kalo gue serius, gmn?
Olipp: dia Katolik atau protestan??
Me: Protestan.
Olipp: trus beda umurnya berapa? 14 taon?
Me: 15.
Olipp:
bufett deh yaa. Emang dia cantik yak?
Apa
ga keliatan tua gitu dgn umur segitu?
Me: Ga tau deh ya. Yg jelas cuma dia
yang paling bisa narik perhatian gue.
Olipp:Waduuh,
men. Kan masih banyak cewek laen yang
seagama, seumuran, ga sekantor, blablabla.
Me: Ga ngerti gue juga.
Cuma gue emang ga bisa
ngeboongin perasaan gue aja.
***
Dhifa:
Hoo. Yaudh gue sih dukung2 aja,
asal
awas lo jangan maenin perasaan dia.
Dia
itu udah kayak mbak gue sendiri.
Me: Iya, iya.
Dhifa:
Tapi kok lo tiba2 serius
pengen nikah gini sih?
Lo
tau konsekuensinya?
Kalo
dia ga mau ikut agama lo, gimana?
Me: Yaa, gue rasa gue udah mulai capek.
Gue pengen
ngejalanin sisa idup gue
sama
pendamping yang gue sayangin.
Masalah agama ... kami bisa nikah diem2.
***
Magno: Yaaay! Semangat! Ayo!!!
Me: bener lo
dukung?
Magno: Yaiyalah. Dukung.
Me: Lo yakin,
dengan semua
perbedaan kami, kami masih
tetep bisa bahagia?
Magno: kalo ngeliat dari
karakter lo dan dia,
gue
rasa ga akan ada
masalah sihh. Semangattt!
***
Semua sahabat mendukung. Tapi ...
“Lebih baik kita seperti dulu aja. Jangan
aneh-aneh,” suara halusnya kini terdengar seolah-olah menggelegar. Mataku tak
berkedip. Sembilu dan ngilu menari-nari dalam hati. Aku sampai harus menahan
napas saking sakitnya.
Sakit. Tak terperikan. Bahkan tak tersentuh air
mata.
Sakit.
...
...
Aku tak tahu masa lalu apa. Tapi ia terluka. Hingga
kini lukanya belum sembuh. Aku hanya berusaha mengerti. Toh, awalnya ia memang
hanyalah Sang Ratu dalam dimensi yang memberikanku kedamaian batin. Melangkahi
itu, berarti aku sudah tidak tahu diri dan pantas dihukum.
***
Dimensi 10 detikku pun kembali. Lima meterku yang
sangat berharga. Dua belas langkah ultraslow motion yang sangat
kunikmati.
Namun, pada langkah ketiga belas, aku bangkit. Dimensiku melebar menjadi 11
detik, 12 detik, dan aku terus mengikutinya.
Dia berhenti. Aku berhenti. Ia menoleh sekilas, “Aku
ikut sampai Keong, ya?”
***
Kini, dimensi adalah milik kami. Tempat kami memadu
kasih tanpa saling menatap. Tempat kami saling merindukan tanpa pernah
berkenalan. Tempat kami terbebas dari kebutaan dan belenggu yang mereka sebut
“cinta”.
Dan selamanya kami ingin tetap begitu.
Dan selamanya kami ingin tetap begitu.
Feel my despair
Feel my joy
Then you will know the real me