Rejection is a nightmare. Says who?
Ayo, kita lihat contoh-contoh berikut.
Rejeksi #1
Raditya: (malu-malu) Ajeng, aku mau bilang sesuatu ke kamu.
Ajeng: Apa? (menatap Raditya lekat-lekat)
Raditya: Engg... Kamu mau gak jadi pacar aku? (menyodorkan bunga)
Ajeng: (diam sebentar, menghela napas)... NAJIS LO! (berlalu pergi)
Raditya: (nangis) Mamaaa, aku kotorrr, Mamaaaa! (mengolesi diri dengan pasir 7x)
Rejeksi #2
Anggi: (sibuk milih batagor) Duh, mana ya yang bagus? (mengangkat dan menerawang batagor)
Raditya: (menghampiri) Anggi?
Anggi: (menoleh sebentar) Oh, lo, Dit?Kenapa? (kembali menerawang)
Raditya: Umm, ga kenapa-napa. Gue cuma ...
Anggi: (mengangkat sebelah tangannya tanpa menoleh) Eit, tunggu-tunggu. Kalau lo bilang lo suka gue, jawabannya enggak! (tegas)
Raditya: (tersentak) Oh, enggaaaak, enggaaaaak. Gue cuma mau bilang batagornya bagus yaa? (mundur teratur)
Kalo harus mengalami salah satu dari dua rejeksi di atas, gue lebih suka rejeksi #1. Yang #2 jelas-jelas adalah premature rejection yang sama sekali ga ngasih kesempatan. Ibaratnya, maen vonis tanpa ngeliat semua kemungkinan dan bukti. Tapi, sikap cewek dalam kedua rejeksi ini sangat-sangat baik jika dibandingkan dengan yang berikut.
Rejeksi #3
Raditya: (berlutut) Aku sayang kamu. Mau ga jadi istri aku? (menyodorkan cincin)
Kirana: (memasang muka innocent) Emmm. Aku belum siap nikah. Masih mau sendiri dulu.
Raditya: (menghela napas panjang). Oke, aku akan nunggu kamu siap kalo gitu. (bangkit, hendak mengantongi cincin)
Kirana: Oke, tapi... (menyambar cincin) cincin ini aku sita dulu untuk bukti! (mengedipkan sebelah matanya sambil melempar senyuman manis)
Beberapa hari kemudian ...
Kirana: Dit, ini. (menyerahkan amplop putih)
Raditya: Apaan, nih? (menerima sambil dag dig dug)
Kirana: Buka aja. (senyum malu-malu)
Raditya: (membuka dengan semangat, membaca, dan ... melongo tak percaya) I... ini...? (melotot menatap Kirana)
Kirana: (berlalu, lalu menoleh) Dateng, ya! Di resepsinya ada makanan kesukaanmu!
Raditya: (nangis) Balikin cincin gueeee!
See? Rejection is not a nightmare, it's only a bad dream. XD
No, seriously, tiap rejeksi yang dialami manusia sebenarnya adalah kesempatan emas untuk sadar diri dan meningkatkan kualitas kepribadian. Rejeksi adalah terapi superampuh dalam membentuk psikologi tangguh. Namun, tentu terapi ini hanya akan manjur jika pribadi yang mengalaminya, menjalani rejeksi itu sebagai terapi (kebanyakan pribadi hanya menganggap rejeksi sebagai gerbang yang memberi legitimasi untuk galau).
See? Rejection is good,
as long as you know its goodness.