Total Pageviews

December 14, 2014

"Once Upon a Time in Shanghai", Underrated yet Riveting Movie




Setelah menonton beberapa film gagal Donnie Yen--sebut saja "Monkey King", "Special ID", atau bahkan "The Iceman"--aku disajikan "Kung Fu Jungle" yang ternyata memang menjadi ajang come back sang maestro. Namun, mungkin banyak yang belum tahu bahwa beberapa waktu sebelumnya telah dirilis film kung fu yang jauh lebih keren. Judulnya "Once Upon a Time in Shanghai". Mengapa film underrated ini kunilai lebih keren dari "Kung Fu Jungle"?


Koreografi Edan

Koreo apik yang membuat kita terpana disajikan secara pas dan tidak berlebihan.
Sommersault kick, signature move aliran Jeet Kune Do.


Esensi film kung fu tentu saja adalah ... kung fu-nya. Koreografi kung fu dalam "Once Upon a Time in Shanghai" (selanjutnya disingkat OUTIS) sangat rapi. Detail tiap gerakan sangat jelas terlihat. Tiap gerakan sangat cantik dan sedap dipandang.Penempatan bullet time sangat pas dan tidak berlebihan seperti halnya di "300"-nya Zack Snyder. Major crowd teaser, literally. Oh, ya. Jangan terpaku pada style peran utama yang mirip Bruce Lee atau pada gerakan-gerakan jeet kune-do-nya. Shanghai 1930-an dan jagoan tipe Bruce Lee kebanyakan memang adalah satu paket--ingat-ingat lagi serial "Fist of Fury"-nya Donnie Yen.



Background dan Atmosfer-nya "Dapet" 


Shanghai 1930-an adalah tentang klub malam, penyanyi cantik, dan geng-geng bertuksedo.

Dengan formula yang sederhana, OUTIS berhasil mereplika atmosfer Shanghai 1930-an. Mungkin memang tidak 100% detailnya terpenuhi. Namun, aspek-aspek background yang diperlukan semuanya telah tercapai. Bagian yang paling mencolok dan membangkitkan suasana adalah ketika biduan menyanyikan lagu Kanton klasik yang menggema indah di klub malam. Kostum dan kendaraannya juga sangat mendukung.



Plot Rapi, Twist Ending



Mayoritas film kung fu mengesampingkan cerita dan plot. Produser selalu berpikir, "yang penting 'kan berantemnya!" Well, mereka tidak terlalu salah juga, sih. Tapi alangkah baiknya jika film kung fu yang memang utamanya berantem, diberikan motif yang kuat tentang mengapa si jagoan ini "harus" berantem. Ada permainan emosi sehingga penonton bisa gregetan, bisa merasakan kemarahan dan keharusan si jagoan untuk menghajar si penjahat. Kapan, ya, terakhir kali kita nonton film, terus kita ikut kesal dan marah dan ingin mendaratkan sejuta jurus kepada si penjahat? Nah, OUTIS menawarkan plot yang seperti itu, mengaduk-aduk perasaan penonton.

Plot sederhana ini memang sangat mudah diikuti siapa saja, namun jangan tertipu. Endingnya tidak tertebak. Hal ini menjadikan nilai tambah tersendiri (well, tiap film yang endingnya tertebak kan memang jadi tidak menarik lagi).


Rival

Mungkin ini adalah poin terpenting yang jadi kekuatan utama OUTIS. Yeah, apalagi kalau bukan RIVAL. Formula rival ini selalu--ya, SELALU--membawa kesuksesan bagi cerita yang mengimplementasikannya dengan baik. Anime-anime sukses selalu menggunakan formula ini. Sebut saja Dragon Ball dengan Son Goku vs Vegeta. Naruto dengan Naruto vs Sasuke. Slam Dunk dengan Sakuragi vs Rukawa. Bleach dengan Ichigo vs Uryuu. Meitantei Conan dengan Shinichi Kudo vs Kaito Kid, dan banyak lagi.

Jagoan kita (Ma Yongzhen) datang ke Shanghai untuk mencoba peruntungan. Di sana, ternyata ada bos geng independen yang sedang melebarkan sayap, yaitu Long Qi. Long Qi sudah membereskan 1 dari 4 bos geng Shanghai yang sebelumnya. Dan dia membereskannya dengan sangat mudah karena kung fu ala "boxing"-nya yang superior. Dengan kata lain, Long Qi mendapatkan reputasi dan segalanya karena kemampuan bertarungnya yang legendaris.

Tidak lama, Long Qi pun bertemu dengan jagoan kita, Yongzhen. Tanpa diduga, Yongzhen dapat mengimbangi Long Qi dan Long Qi pun yang tadinya tidak ada lawan sepadan menjadi senang dan menghargai Yongzhen. Mereka pun berteman dekat--bahkan mereka seperti saudara. Dan pertarungan mereka selalu enak dilihat.

Long Qi tidak percaya ada pemuda kampung yang bisa menempelkan debu ke tubuhnya.

Lega, senang, dan bahagia karena bertemu lawan sepadan. 

"Mau rokok?" adalah bukti bahwa Long Qi mengakui Yongzhen.

"Mulai hari ini, Ma Yongzhen boleh minum-minum di klub ini sesuka hatinya! Karena dia adalah temanku!"
"We are brothers forever."

Long Qi dan Yongzhen selalu sparring dengan riang seperti anak kecil, kapan pun mereka sempat.


"Bergabunglah denganku, Ma Yongzhen! Berdua, kita tidak akan terkalahkan!"

Dan di sini pula terletak twist yang sangat mengejutkan. Rival memang tidak tertebak dan itu sangat menyenangkan untuk ditonton.




Tsundere Alert!

Mungkin ini cuma bumbu kecil, tetapi cukup menarik karena love interest jagoan kita menggunakan konsep tsundere. Ya, tsundere seperti pada anime-anime. Apa? Apa itu tsundere? Sederhananya, tsundere adalah tipe karakter (biasanya gadis) yang galak, jutek, dingin, namun sebenarnya berhati lembut. Dan tipe ini selalu menarik untuk ditonton karena tingkahnya lucu, polos, dan kadang konyol serta menggelikan. Ini menjadi nilai hiburan tersendiri karena memuat banyak humor dan romantisme ringan.

"Aku tidak memberikannya untukmu. Kebetulan ada sisa!"

"Apa liat-liat!?"

Tidak ada yang tahu jika seorang tsundere sedang jatuh cinta atau sedang membenci seseorang.


Pertarungan Terakhir yang Ultradahsyat

Tiap film kung fu biasanya dinilai dari pertarungan terakhirnya. Dan OUTIS tahu benar hal itu sehingga memaksimalkan segalanya untuk kepentingan pertarungan terakhir. Plot, alur, dan background adalah instrumen yang akhirnya menjadi panggung megah untuk pertarungan terakhir ini. Jadi, kita tidak akan menyaksikan pertarungan kosong yang tanpa emosi atau motif. Kita akan menyaksikan pertarungan terakhir yang penuh dengan darah dan air mata.

Katana-ougi-ryuu vs Jeet Kune Do. Menang mana?
Itulah alasan pokok mengapa OUTIS lebih baik daripada Kung Fu Jungle. Tidak setuju? Tonton dulu keduanya dan tinggalkan komentar.


I always appreciate rival more than best friend.
Rival teaches you everything.
Best friend only teaches you kindness.

June 04, 2014

Why is Introversion Getting Popular?

Entah zaman yang memang sudah berubah, atau orang-orang Indonesia baru diperkenalkan konsep introversi. Yang jelas, introversi kini populer di negeri bobrok ini. Banyak orang Indonesia yang mengaku-ngaku dirinya introvert. Mengapa?


Jika kita googling keyword “introvert”, akan muncul banyak, BANYAK sekali situs yang membahasnya, termasuk Wikipedia. Dulu, situs semacam ini hanya ada dalam versi bahasa Inggris. Namun, saat ini, sudah banyak sekali orang Indonesia yang membahas ini, misalnya di blog, facebook, atau kaskus. Jadi, segala tentang introversi ini sekarang sangat populer. Dampaknya, banyak orang yang terpengaruh dan latah sehingga akhirnya ikut-ikutan sok introvert. Padahal, mereka sama sekali bukan introvert. Mungkin mereka memikirkan hal-hal dangkal semacam ini:


  • Jadi seorang introvert itu keren karena istilah “introvert” itu saja sudah keren.
  • Seorang introvert itu “lone wolf”, penyendiri yang cool.
  • Banyak tokoh terkenal, misalnya Einstein dan Michael Jackson, ternyata adalah seorang introvert dan mereka ingin seperti tokoh-tokoh terkenal itu.
  • Seorang introvert itu pemalu.
  • Seorang introvert itu langka dan beda dengan yang lain.


Sekarang, kita akan coba meluruskan sedikit pemikiran-pemikiran jijik itu.


1. Jadi seorang introvert itu keren

Apanya yang keren? Seorang introvert asli akan selalu berusaha tampil extrovert. Sebisa mungkin, ia ingin selalu dianggap gaul dan supel, tetapi selalu gagal. Seorang introvert asli tidak akan membanggakan introversinya. Introversi itu seperti kutukan yang sama sekali tidak keren. Istilah introvert juga hanya akan terdengar keren bagi telinga-telinga dogol yang tidak mengerti etimologi.


2. Seorang introvert itu penyendiri yang cool


Seorang introvert sejati menyendiri bukan karena ia INGIN, tetapi HARUS. Sumber energi baginya adalah waktu kesendirian. Sering kali, kondisi lingkungan memaksa ia untuk selalu bersosialisasi dan itu sangat menyiksa, menghabiskan banyak energinya. Jadi, ketika sendiri, seorang introvert asli sama sekali tidak merasa cool. Ia ingin berbaur dengan yang lainnya, tetapi tidak bisa karena itu sangat melelahkan dan setiap saat ia harus kembali dalam kesendirian untuk me-recharge energi.


3. Banyak tokoh terkenal, misalnya Einstein, Mahatma Gandhi, dan Michael Jackson, ternyata adalah seorang introvert dan mereka ingin seperti tokoh-tokoh terkenal itu


Oke, para latahers (orang-orang yang latah) itu hanya makin menunjukkan bahwa mereka tidak punya jati diri. Mengidolakan seseorang memang tidak ada salahnya. Namun, kita tidak perlu menjadi seperti orang yang diidolakan tersebut. Introversi pada tokoh terkenal aturannya tetap sama: orang-orang terkenal itu pun sebenarnya tidak menginginkan diri mereka introvert.


4. Seorang introvert itu pemalu


Inilah kesalahkaprahan yang paling jijik yang dilakoni banyak latahers. Seorang introvert itu BUKAN pemalu. Sama sekali bukan. Sebisa mungkin, seorang introvert sejati akan menghindari segala kontak sosial seperti mengobrol, menyapa, atau bahkan sekadar membalas pandangan dan melempar senyum ketika berpapasan. Dan itu bukan karena ia malu, melainkan sebisa mungkin menghemat energinya yang sangat berharga. Jadi, ketika menemui situasi yang tidak mewajibkan kontak sosial, ia akan menghindarinya AT ALL COST. Soalnya, ia tidak pernah tahu kapan ia akan menemui situasi yang mewajibkan dirinya melakukan kontak sosial. Akan jadi masalah besar jika ia menemui situasi tersebut dengan energi yang sudah terkuras karena sosialisasi yang tak perlu.


5. Seorang introvert itu langka dan beda dengan yang lain






Salah besar. Populasi orang introvert sangat banyak, namun biasanya tersebar di berbagai komunitas. Dalam satu komunitas, biasanya selalu terdapat satu atau dua orang yang introvert. 
Lalu, tentang “beda dengan yang lain”, seorang introvert sejati sangat tidak mau disebut seperti itu. Dia ingin dianggap “normal” dan sama seperti orang-orang secara umum, meski pada kenyataannya, lingkungan pasti dan selalu men-judge dia sebagai pribadi aneh.


Nah, para latahers yang jumlahnya sudah sangat mengkhawatirkan, just be yourself. Lalu, bagi para introvert asli, baik yang sadar maupun tidak, just be yourself, too. Seorang introvert tidak akan bisa dijadikan extrovert, dan seorang extrovert pun tidak bisa sok jadi introvert. Dunia ini diciptakan penuh dengan keseimbangan. Tuhan Mahaadil. Jadi, jalanilah peran masing-masing.


If I’m quiet: I’m not mad. I’m not depressed.
I’m just tired and just have to NOT talking to anyone in order to recharge.

February 13, 2014

Dimensi Part 2 ~Reality~




Jadi, inilah dimensi milikku seorang. Tempatku memadu kasih tanpa saling menatap. Tempatku merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempatku terbebas dari "cinta" yang membelenggu. 


Dan selamanya aku ingin tetap begitu. 


Kecuali, ...



Kecuali bukan begitu yang terjadi. Kecuali Tuhan berkehendak lain. Deus ex machina. I Ching. Atau mungkin Ia hanya tidak ingin mengijabah keinginanku yang mendamba dimensi abadi mahasempurna itu.

Entahlah. Siapa yang bisa menebak rencana Sang Perencana? Siapa pula yang bisa tahu Sang Mahatahu?

“Kamu lewat Keong, ga?” suara halus sekonyong-konyong menyapa.

Aku mendongak, tetapi tidak menoleh. Tanganku yang tadinya sibuk mengambil helm terhenti. Aku mengenal suara ini.
Aku menelan ludah dan memberanikan diri untuk menoleh.

Benar saja. Ia berdiri di sana, menatapku dengan pandangan cemas. Beberapa bulir keringat membasahi keningnya yang elok.

Aku berdiri tegak dengan perlahan. Mempelajari pandangannya. Gelagatnya. Wajahnya. Jemarinya.

Sang Ratu dalam dimensi. Ia berdiri tepat di hadapanku. Berbicara denganku. Menatap mataku. Mengunci pandangannya kepadaku.

Sang Ratu menjelma nyata kini.

“Ma... maaf. Aku buru-buru sekali. Apa kamu lewat Keong? Aku ikut, ya, sampai sana?” suara lembutnya mengalun seperti simfoni.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti bertemu idola yang tiba-tiba melompat keluar dari televisi.

Aku memberikannya helm yang sejak tadi kupegang.

Ia menatap helm itu, lalu kembali menatapku. “Makasih, ya. Maaf, ngerepotin,” ujarnya sambil meraih helm dan memakainya.

Sayang sekali jarak dari kantor ke Keong sangat dekat... atau mungkin terasa sangat dekat. Ia hanya diam sepanjang jalan. Tangannya ia jauh-jauhkan dariku, lebih memilih handle jok motor. Aku tahu ia mengenalku, meski hanya sebatas wajah dan nama. Itulah sebabnya ia berani meminta tolong. Namun, aku bisa merasakan gelagat ganjil yang memancar dari pesonanya. Aku tahu ia menjaga jarak.

Aku tahu ia terluka.

“Aku ... sebenarnya hari ini aku mengajar privat. Tapi sebelum pulang tadi, orang tua muridku menelepon. Jadwalnya diganti besok,” aku berteriak-teriak untuk mengatasi deru suara motor dan menoleh sekilas ke arahnya. Ia tampak bingung.

Aku tersenyum tipis. “Jadi, aku bisa ke mana saja hari ini.”

Ia tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, “Aku harus sampai di Cibubur 20 menit lagi.”

Kalimat itu laksana titah Sang Ratu.

“Aku bisa 15 menit!” aku menggas motorku sampai maksimal, berkelit-kelit dari angkot dan bus.

***

Olipp: gile. Lo serius mau ngelamar dia??

Me: Makanya gue tanya pendapat lo.
Kalo gue serius, gmn?

Olipp: dia Katolik atau protestan??

Me: Protestan.

Olipp: trus beda umurnya berapa? 14 taon?

Me: 15.

Olipp: bufett deh yaa. Emang dia cantik yak?
Apa ga keliatan tua gitu dgn umur segitu?

Me: Ga tau deh ya. Yg jelas cuma dia
yang paling bisa narik perhatian gue.

Olipp:Waduuh, men. Kan masih banyak cewek laen yang seagama, seumuran, ga sekantor, blablabla.

Me: Ga ngerti gue juga.
Cuma gue emang ga bisa 
ngeboongin perasaan gue aja.


***


Dhifa: Hoo. Yaudh gue sih dukung2 aja,
asal awas lo jangan maenin perasaan dia.
Dia itu udah kayak mbak gue sendiri.


Me: Iya, iya.

Dhifa: Tapi kok lo tiba2 serius
pengen nikah gini sih?
Lo tau konsekuensinya?
Kalo dia ga mau ikut agama lo, gimana?

Me: Yaa, gue rasa gue udah mulai capek.
 Gue pengen ngejalanin sisa idup gue
 sama pendamping yang gue sayangin.
Masalah agama ... kami bisa nikah diem2.

***


Magno: Yaaay! Semangat! Ayo!!!

Me: bener lo dukung?

Magno: Yaiyalah. Dukung.

Me: Lo yakin, dengan semua
 perbedaan kami, kami masih
 tetep bisa bahagia?

Magno: kalo ngeliat dari 
karakter lo dan dia, 
gue rasa ga akan ada
masalah sihh. Semangattt!

***


Semua sahabat mendukung. Tapi ...

“Lebih baik kita seperti dulu aja. Jangan aneh-aneh,” suara halusnya kini terdengar seolah-olah menggelegar. Mataku tak berkedip. Sembilu dan ngilu menari-nari dalam hati. Aku sampai harus menahan napas saking sakitnya.

Sakit. Tak terperikan. Bahkan tak tersentuh air mata.

Sakit.

...

...

Aku tak tahu masa lalu apa. Tapi ia terluka. Hingga kini lukanya belum sembuh. Aku hanya berusaha mengerti. Toh, awalnya ia memang hanyalah Sang Ratu dalam dimensi yang memberikanku kedamaian batin. Melangkahi itu, berarti aku sudah tidak tahu diri dan pantas dihukum.

***

Dimensi 10 detikku pun kembali. Lima meterku yang sangat berharga. Dua belas langkah ultraslow motion yang sangat kunikmati. 

Namun, pada langkah ketiga belas, aku bangkit. Dimensiku melebar menjadi 11 detik, 12 detik, dan aku terus mengikutinya.

Dia berhenti. Aku berhenti. Ia menoleh sekilas, “Aku ikut sampai Keong, ya?”

***


Kini, dimensi adalah milik kami. Tempat kami memadu kasih tanpa saling menatap. Tempat kami saling merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempat kami terbebas dari kebutaan dan belenggu yang mereka sebut “cinta”.

Dan selamanya kami ingin tetap begitu.


Feel my despair
Feel my joy
Then you will know the real me