Mengejutkan. Tidak masuk akal. Tidak layak. Itulah yang
dipikirkan banyak orang ketika “Birdman” dinobatkan sebagai film terbaik 2015.
Mengapa film ini yang terpilih? Apa bagusnya?
Banyak yang bilang “Birdman” hanya dapat dinikmati seniman
dan sineas tulen. Mungkin itu benar. Namun, jika kita memperluas sedikit
mind-set kita dan mencoba berpikir sejenak seperti layaknya sineas tulen, mungkin akan
terlihat seberkas cahaya yang menyapu semua kesangsian. Berikut poin-poin
keunggulan “Birdman” yang mungkin luput dari apresiasi kita. Sekadar info, ini
cuma apresiasi bebas yang amatir dan subjektif. So, feel free to criticize.
Genius Long Take
Satu dari empat penghargaan yang diborong “Birdman” adalah Best
Cinematography. Teknik pengambilan gambar nonkonvensional ini diaplikasikan
dengan apik oleh Emmanuel Lubezki. Meski tidak tergolong baru, teknik long take
Lubezki sangat berbeda dengan para pendahulunya. Dari detik pertama hingga
akhir, seolah—ya, seolah—seluruhnya diambil dalam SATU KALI take. Namun, semua
sekuensinya sangat halus sehingga tampilannya benar-benar seperti satu kali
take. Tidak ada angle yang tidak perlu. Satu kata untuk menggambarkannya:
genius.
Semiotics Masterpiece
“Birdman” tidak dapat dimungkiri adalah ladang semiotika yang
sangat kaya. (Sedikit catatan, semiotika sendiri secara sederhana dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari lambang-lambang). Hampir segala aspek
dalam film ini merupakan pengejawantahan semiotika kompleks yang indah dan
cerdas. Inilah yang menjadikan “Birdman” sebagai film dengan Best Original
Screenplay. Tidak percaya? Mari kita kupas beberapa semiotika yang dimaksud,
baik secara metafora maupun ironi/sinisme.
Pemeran utama “Birdman” adalah Michael Keaton dan
harus—ya, HARUS—Michael Keaton. Tidak bisa yang lain. Ini semata dilakukan
Inarritu—sang sutradara—untuk mencapai efek semiotika yang dia inginkan. Apa
itu?
Seperti yang kita tahu, Keaton adalah aktor
terkenal tahun ‘90-an atas perannya sebagai Batman. Jika kita menoleh sedikit
sejarah Keaton, ia mengambil peran Batman untuk dua film, yaitu “Batman” dan
“Batman Returns”. Seketika, image Keaton pun berubah populer sebagai potrayal
sang superhero. Ia pun sebenarnya dapat melanjutkan kepopuleran itu, tetapi ia memilih
untuk menanggalkannya. Ia menolak untuk berperan dalam film Batman selanjutnya,
yaitu “Batman Forever”. Akibatnya, franchise Batman yang saat itu diperankan
Val Kilmer menurun drastis. Keaton sendiri sebenarnya ingin mencoba membuktikan
bahwa tanpa menjadi Batman pun, ia akan tetap diperhitungkan—meski dalam
kenyataannya tidak juga. Realita inilah yang diperlambangkan Inarritu. Coba
pikirkan, semuanya cocok sekali:
·
Birdman adalah lambang dari Batman, yaitu sosok
superhero yang ditanggalkan oleh pemerannya.
·
Riggan Thomson adalah lambang dari Michael
Keaton, yaitu sosok yang menanggalkan popularitas franchise superhero demi
sesuatu yang lain.
Dalam film, digambarkan bahwa Riggan selalu tergoda untuk kembali menjadi sosok Birdman. Ia selalu tergoda akan ketenaran dan prestise di balik topeng Birdman. Secara psikologis, ini secara tidak langsung menciptakan alter-ego dirinya, yaitu Birdman sendiri. Saking nyatanya, Riggan bahkan memercayai bahwa Birdman beserta kekuatannya adalah nyata. Ini menjelaskan segala kekuatan telekinesis (melayang, melempar benda tanpa menyentuh) dalam beberapa adegan.
Harus kita akui, ini adalah perlambangan yang manis dan cerdas sekali. Sebuah satire bernilai artistik tinggi.
Dalam adegan awal, diceritakan pemeran utama dalam pertunjukan teater Riggan harus diganti. Nah, yang menarik adalah dialog ketika Riggan (Keaton) mencari pemeran pengganti tersebut. Semua calon aktor sudah dikontrak label-label terkenal yang benar-benar ada di dunia nyata, yaitu:
·
Hunger Games,
·
X-Men, dan
·
Iron Man.
Dialog ini adalah semacam “protes”, “kritik” atau “sindiran” akan realita dunia showbiz Hollywood yang makin lama hanya mementingkan uang dan popularitas dengan mengangkat nama-nama
superhero termahsyur. Hal ini menyadarkan kita bahwa realita showbiz Hollywood memang kini cenderung memprioritaskan
box-office income—dengan mengesampingkan seni perfilman yang sebenarnya. Harus diakui, masyarakat masa kini memang lebih suka menonton banyak aksi dan kilau
special effect yang “kering” daripada adegan-adegan biasa namun berbobot.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQaE9UYiVD3vjd_wlL9J0RQI2y6jPdJisDIyH2Ir4xSzmRuetZuzbokCv9LRguRvtfmvXNhIg7_w0lBcqvOCUMbJPl0jJmm2t49ljaxRxUOpeM8Ru916488GKqq5lM5__liSVnNVJBZqMw/s1600/Robert-Downey-Jr-Iron-Man-3-Legion.jpg)
Nah, bagian terbaiknya, “sindiran” akan kepunahan seni film tidak berhenti sampai di sini. Akhirnya, Riggan menemukan aktor pengganti yang tepat. Coba tebak, siapa? Edward Norton! Kalau diingat-ingat, Norton pun pernah menjadi superhero dalam film “The Incredible Hulk”. Dari semua calon aktor Riggan sebelumnya yang tidak available, semua bermain sebagai superhero. Seolah-olah, yang akan ditemukan Riggan adalah aktor “biasa” yang tidak pernah menjadi superhero. Namun, nyatanya, Riggan justru mendapatkan Hulk. Ini jelas-jelas menyiratkan bahwa aktor-aktor terbaik pun harus berasal dari franchise terkenal dan tidak ada yang bisa mengubah realita itu.
Beralih ke OST. Sejak awal, soundtrack yang digunakan adalah
drum jaz solo. Mengingatkan kita pada sesuatu? Ya, apalagi kalau bukan salah
satu peraih Oscar lainnya, “Whiplash”. Film musikal ini memang bukan sekadar
pertunjukan musik dengan panggung megah dan suara-suara emas semacam “Glee”.
“Whiplash” adalah film motivasi yang pesan moralnya sangat mudah dicerna, yaitu
“push beyond the limit”. Adegan-adegan dalam “Whiplash” tidak flashy atau penuh
dengan special effect, namun tetap bermakna dalam. Dengan kata lain, “Whiplash”
adalah film tentang seni yang sebenarnya, berlawanan dengan film-film
box-office yang disindir dalam “Birdman”.
Lantas, apa hubungannya “Birdman” yang menggunakan
musik latar ala “Whiplash”? Sederhana saja. Inarritu mengakui “Whiplash”
sebagai film teladan dan ia ingin keteladanan itu melatari tiap adegan dalam
“Birdman”. Lebih dari keteladanan, Inarritu ingin semangat “push beyond the
limit” menjadi latar dan atmosfer tiap adegan dalam “Birdman”. Dan jangan
bilang ini bukan semiotika yang genius.
Berlanjut ke ending. Pada bagian akhir, Riggan menembak hidungnya.
Mudah diterka, ini adalah semiotika sederhana dari “membunuh alter-ego”-nya,
membunuh Sang Birdman. Hidung diperlambangkan sebagai “paruh” yang
mendistingtifkan Riggan dan Birdman. Dengan membabat hidung/paruhnya, itu
tandanya Riggan telah mengeliminasi sang alter-ego. Namun, apa yang terjadi pada
adegan akhir yang menjadi ending paling ambigu dan diperdebatkan sepanjang tahun? Digambarkan,
Riggan menghilang dari kamar. Putrinya melihat ke luar jendela yang terbuka. Tidak
lama, putrinya melihat KE LANGIT—ya, ke LANGIT—sambil tersenyum penuh
kebanggaan. Apa itu?
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJhkXBdAa_TMDCd0f5JBrPm7aUHzPz-bNEYvIlLmSxYNE8zKJoO49Q30-EHzDhyphenhyphen1CtgK1jo6uzRB-a538SEo0T8DRU6APRSI6Ll-NTr8giVfKB8B9gdF7HHs7areaygLYYkHw34nKcm4I1/s1600/ending.jpg)
Penjelasan sederhananya adalah, Riggan melayang di langit
seperti saat ketika di pertengahan film. Namun, tentu saja itu tidak masuk akal.
Saat di tengah film, Riggan memang melayang, tetapi itu hanya dalam fantasinya.
Nyatanya, dia cuma naik taksi. Lalu, apakah adegan terakhir itu fantasinya
juga?
Ada banyak perdebatan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada akhir film
ini. Namun, interpretasi yang menurutku paling masuk akal begini: Saat menembak
dirinya sendiri, dia bukan menembak hidung, melainkan kepala. Jadi, dalam
adegan penembakan ini, sebenarnya Riggan telah mati. Nah, adegan setelah itu
SEMUANYA adalah fantasi Riggan, seperti saat ia merasa melayang dan melihat
garuda raksasa di atas gedung. Ini jadi masuk akal karena tiap kejadian setelah
penembakan sangat indah dan merupakan perwujudan semua harapan Riggan, yaitu
dia tidak mati, disayangi istri, putri, menjadi tenar, dan dapat
melayang-layang sesuka hati. Ending yang fantastis, dalam arti yang sebenarnya:
FANTASTIS!
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAA95uJQYqXj8WtBMNjOaQe8WjnuoV2KWwxOfhQThp2ZALVLisPUW-yFUF2i4eO9JDgEWPOiVFY3XLoIpuI8P05tJFcY_agPvver0jJuUm6fRkm9-8E7zsIR18sKvvvyUVrgqhionw2vOy/s1600/birdman+(1).jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSsbdX-4_j0p4AjmQmAnGj8s5DxpYQyhL-qvxmeuhgd2m8m64v84YgtXTUdc8Mu124l6RSFLskLlaAEMRTI6_5TXjpC7nyjJO6I_boFZ70R10hp_MVEc3Zzg0fN92EPHLXRQiReTkYxdF1/s1600/Oscar-awards.jpg)
Jadi, ini memang bukan film yang kosong, melainkan film
tentang kekosongan itu sendiri. Ini adalah premis dunia nyata tempat kita hidup
saat ini. Bahkan ini adalah premis dari kita semua, manusia, yang selalu
mendamba untuk terbang dan menggapai kemustahilan.
Ini adalah BIRDMAN.