Cerita ini dibuat oleh salah satu sahabatku waktu kuliah. Aku poles sedikit, tentunya. Jadi, bisa dibilang, ini adalah kisah kami. Kami sama-sama mengalaminya, bahkan sekarang.
Jaki ingin sekali mengganti BMW babehnya! Itulah hal
yang dipikirkan mahasiswa Fasilkom UI yang baru saja diwisuda itu ketika
melahap nasi goreng di kantin langganannya, Bu Eti. Sementara kedua temannya,
aku dan Budi menghampirinya.
“Woi!
Ngapain lu bengong sendirian?” Budi langsung duduk di samping Jaki.
“Gua
abis diputusin sama Tika, tau! Nih, abisin nasi goreng gua. Gua lagi enggak
selera makan,” kata Jaki seraya menggeser piringnya ke Budi.
Budi
yang kebetulan lagi kelaparan, langsung memenuhi mulutnya dengan nasi goreng
itu. “Kok bisa putus, sih?” tanyanya dengan dagu belepotan.
“Gara-gara
dia ngeliat BMW gua…” kata Jaki lesu.
Budi
langsung menyemburkan nasi dari mulutnya. “Yang bener aja, luh? Gara-gara BMW?”
Budi langsung cekikikan sendiri. “Mungkin si Tika nganggap serius becandaan
kita tempo hari kali, ya?” tanyanya di sela tawa.
Aku
menepuk pundak Jaki. “Udahlah, Jak. Jangan dipikirin terus. Cewek itu enggak
cuma satu, kan? Lagian kalau jodoh juga enggak bakalan ke mana. Mendingan kita
maen PS, yuk!” hiburku.
Dengan
agak malas, Jaki ikut bersama kami ke rumah Budi. Dalam hatiku, Jaki mungkin
punya masalah lain yang lebih gawat daripada sekedar masalah cewek. Mungkin
masalah BMW-nya itu?
Beberapa
bulan lalu…
“Beh,
mendingan Babeh mandi dan shalat. Udah masuk lohor. Biar Jaki yang beresin tuh
BMW,” tawar Jaki ketika sepulang kuliah melihat babehnya di kolong BMW dengan
keringat bercampur oli.
“Ah,
kayaknya harus turun mesin nih. Emang udah waktunya masuk museum,” gerutu babeh
Jaki sambil meninggalkan garasi yang hanya muat untuk satu mobil itu.
Jaki
beralih memperhatikan BMW-nya. BMW yang selalu dibawa berkeliling Pondok Bambu
dan mengantar adik-adiknya sekolah itu punya ciri yang unik. Di depan kacanya
ada rumbai-rumbai bertuliskan Allahu Akbar. Di dalamnya tercium aroma
lemon yang menyejukkan. Knalpotnya berbentuk senapan mesin dengan ujung runcing
dan simetris. Klaksonnya menggelegar bagai klakson kapal, membuat orang-orang
tertarik untuk melihatnya ketika dibunyikan. Tapi yang paling istimewa, ketika
di dalamnya, kita bisa mendapatkan servis khusus, yaitu kenikmatan pijat
gratis.
Banyak pengalaman menarik tentang BMW itu. Seperti
tentang penumpang super gendut, mungkin beratnya mencapai 150 kilo, yang
membuat ban BMW nya sampai mendem dan bagian depannya sudah terasa seperti
melayang. Sehingga Jaki pun dengan sangat terpaksa meminta bapak itu untuk
turun. Atau pengalaman dengan tiga gadis SMU yang keluar mall dengan berjalan
seperti di catwalk. Meskipun macet, ketiga gadis SMU yang cantik itu
sepertinya menikmati benar berada di BMW Jaki. Ada pula kisah tentang truk yang
lebih memilih untuk menyerempetnya daripada Volvo. Jaki sampai dibawa ke rumah
sakit, sedangkan dengan empat lembar lima puluh ribuan, supir Volvo itu dapat
membius polisi. Banyak sekali kenangan…
Ah,
kau memang sangat berjasa… pikirnya kepada BMW yang terus membisu itu.
***
Sepulang
dari menjenguk Tika, Jaki terlihat sangat bahagia. Wajahnya bahkan bersinar
lebih terang dari matahari sekalipun. Tampaknya ia benar-benar menyukai Tika.
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran Jaki, kenapa Tika yang pintar,
cantik, dan populer itu bisa tertarik padanya? Apa karena kedua temanku berkata
kalau aku punya BMW? Apakah Tika tak tahu kalau mereka cuma berusaha membuat lelucon
konyol? Jaki terus bertanya pada dirinya sendiri.
Tiga
hari kemudian, karena Babeh Jaki lagi-lagi sakit-sakitan, Jaki terpaksa kembali
lagi berpetualang dengan BMW-nya. Toko kelontong tidak cukup untuk membiayai
semua biaya skripsi dan wisudanya.
Maka
aku dan Budi makan siang di kantin Bu Eti tanpa Jaki.
“Eh,
batang hidung Jaki yang jerawatan itu kok enggak keliatan-keliatan, ya?” Budi
bertanya sambil melahap nasi goreng kambing favoritnya.
“Oh,
ya. Tadi gua ketemu dia di dekanat, katanya babehnya sakit-sakitan lagi.
Makanya dia sekarang kembali bermesraan dengan BMW-nya itu,” kataku baru
teringat.
“Wah,
Jaki kan hanya gagal tiga kali meraih cum laude dari semester satu
sampai skripsi sekarang ini. Sayang kalau kuliahnya ditinggalin, kan?” Budi
memasang tampang cemas.
“Yah…
begitulah dia…” kataku menyetujui.
Setelah
mengisi perut di warteg, Jaki kembali masuk ke BMW kesayangannya. Baru saja ia
hendak menghidupkan mesin ketika sebuah suara menyapanya.
“Bang,
ke Kalimalang, ya,” ujar suara yang sangat tidak asing itu. Dan benar saja,
ketika Jaki menoleh, dia melihat Tika dengan dandanan super cantik dan gaun
mahal yang ketat sedang menunggu jawaban.
“Tika?
Dari mana siang bolong begini?” kata Jaki sambil tersenyum santai.
Tika
terbelalak. “Elu… Jaki!? Ngapain elu di sini? Katanya elu punya BMW?? Jadi
selama ini elu ngebohongin gua?” jeritnya.
“Loh?
Siapa yang bohong? Inilah BMW gua! Bajajku Merah Warnanya! Disingkat jadi BMW,
kan?” balas Jaki sekenanya. “Masa elu percaya gurauan temen gua sih? Elu cinta
gua apa BMW gua sebenernya?”
Tika
terdiam. Mukanya terlihat jijik. “Pokoknya sekarang elu jangan deket-deket gua
lagi! Gua enggak mau punya pacar supir bajaj! Dasar miskin!” teriaknya sambil
berlalu.
Dasar
miskin… Ucapan itu membuat Jaki tersentak. Dia tidak marah. Dia tidak
dendam. Dia cuma heran, mengapa gadis-gadis selalu menilai cowok dari
ketampanan dan kekayaan? Bukankah cinta yang didasarkan atas ketampanan dan
kekayaan itu akan cepat mati—seperti ketampanan dan kekayaan itu sendiri?
Kembali
ke masa sekarang…
Di
rumah Budi, Jaki dan aku main PS sementara Budi sibuk mengunyah nasi goreng Bu
Eti yang dia bungkus tadi. Jaki memang jagoan PS, aku selalu dikalahkannya
dengan skor telak.
“Sekarang
gua udah tenang, kok,” tiba-tiba Jaki memasang tampang serius dan meletakkan
stik PS. “Yang bikin gua uring-uringan seperti ini sebenernya bukan masalah
Tika. Hanya saja, gua akan meninggalkan kalian untuk sementara. Lamaran gua
jadi chief manager perusahaan Jepang diterima. Dan gua akan ditempatkan
di sana,” ujar Jaki dengan nada lesu.
“Loh?
Kabar baik sekali itu! Harusnya elu hepi, kan?” aku tersenyum padanya.
Budi
meletakkan nasi gorengnya dan merangkul pundak kami dari tengah. “Hei, Jak.
Selamat, ya! Elu emang hebat! Asal tau aja, kita ini selalu ngedukung elu,
bener enggak?” Budi meminta dukunganku.
“Pasti
itu. Kita pasti bisa ketemu lagi, kan? Jadilah orang yang berjaya dan tunjukin
sama cewek-cewek matre itu kalau elu pun bisa menjadi sosok yang mereka
kejar-kejar!” seruku bersemangat.
Dapat
kulihat mata Jaki berkaca-kaca…
Yah,
pergilah, sobat! Jangan khawatirkan kami. Kami akan selalu ada untukmu…
Tujuh
tahun kemudian…
Sebuah
BMW merah dengan seri 320i berjalan mulus dan mantap memasuki perkarangan yang
luasnya hampir satu hektar itu. Seseorang keluar dari dalamnya. Dia memakai
setelan jas mahal dan kacamata hitam. Dia kelihatan sangat tampan dan
berwibawa. Dengan sigap ia berlari menuju sisi mobil yang satunya untuk
membukakan pintu untuk kekasihnya, Thrya.
Mereka
bergandengan memasuki rumah supermegah dengan beralaskan karpet merah maron.
“Sebentar,
sayang,” kata si pemuda tampan ini kepada Thrya ketika ia beralih ke satu
ruangan khusus di sisi rumahnya. Dengan sabar Thrya mengikuti pemuda itu
membuka pintu besar yang terbuat dari kaca tahan peluru.
Ruangan
itu sangat besar. Hampir semuanya berawarna putih bersih. Udara sejuk langsung
menyapa mereka. Ada dua sofa mewah berwarna coklat di sudut ruangan megah itu.
Di tengahnya ada meja ukiran. Sedangkan di sampingnya ada kulkas tiga pintu.
Dan di pusat ruangan itu, di dalam boks kaca yang lux, sebuah bajaj merah
bertengger dengan penuh kebanggaan…
Jatinangor, 2001