Total Pageviews

January 30, 2019

BMW



Cerita ini dibuat oleh salah satu sahabatku waktu kuliah. Aku poles sedikit, tentunya. Jadi, bisa dibilang, ini adalah kisah kami. Kami sama-sama mengalaminya, bahkan sekarang.

Jaki ingin sekali mengganti BMW babehnya! Itulah hal yang dipikirkan mahasiswa Fasilkom UI yang baru saja diwisuda itu ketika melahap nasi goreng di kantin langganannya, Bu Eti. Sementara kedua temannya, aku dan Budi menghampirinya.
            “Woi! Ngapain lu bengong sendirian?” Budi langsung duduk di samping Jaki.
            “Gua abis diputusin sama Tika, tau! Nih, abisin nasi goreng gua. Gua lagi enggak selera makan,” kata Jaki seraya menggeser piringnya ke Budi.
            Budi yang kebetulan lagi kelaparan, langsung memenuhi mulutnya dengan nasi goreng itu. “Kok bisa putus, sih?” tanyanya dengan dagu belepotan.
            “Gara-gara dia ngeliat BMW gua…” kata Jaki lesu.
            Budi langsung menyemburkan nasi dari mulutnya. “Yang bener aja, luh? Gara-gara BMW?” Budi langsung cekikikan sendiri. “Mungkin si Tika nganggap serius becandaan kita tempo hari kali, ya?” tanyanya di sela tawa.
            Aku menepuk pundak Jaki. “Udahlah, Jak. Jangan dipikirin terus. Cewek itu enggak cuma satu, kan? Lagian kalau jodoh juga enggak bakalan ke mana. Mendingan kita maen PS, yuk!” hiburku.
            Dengan agak malas, Jaki ikut bersama kami ke rumah Budi. Dalam hatiku, Jaki mungkin punya masalah lain yang lebih gawat daripada sekedar masalah cewek. Mungkin masalah BMW-nya itu?

            Beberapa bulan lalu…
            “Beh, mendingan Babeh mandi dan shalat. Udah masuk lohor. Biar Jaki yang beresin tuh BMW,” tawar Jaki ketika sepulang kuliah melihat babehnya di kolong BMW dengan keringat bercampur oli.
            “Ah, kayaknya harus turun mesin nih. Emang udah waktunya masuk museum,” gerutu babeh Jaki sambil meninggalkan garasi yang hanya muat untuk satu mobil itu.
            Jaki beralih memperhatikan BMW-nya. BMW yang selalu dibawa berkeliling Pondok Bambu dan mengantar adik-adiknya sekolah itu punya ciri yang unik. Di depan kacanya ada rumbai-rumbai bertuliskan Allahu Akbar. Di dalamnya tercium aroma lemon yang menyejukkan. Knalpotnya berbentuk senapan mesin dengan ujung runcing dan simetris. Klaksonnya menggelegar bagai klakson kapal, membuat orang-orang tertarik untuk melihatnya ketika dibunyikan. Tapi yang paling istimewa, ketika di dalamnya, kita bisa mendapatkan servis khusus, yaitu kenikmatan pijat gratis.
            Banyak pengalaman menarik tentang BMW itu. Seperti tentang penumpang super gendut, mungkin beratnya mencapai 150 kilo, yang membuat ban BMW nya sampai mendem dan bagian depannya sudah terasa seperti melayang. Sehingga Jaki pun dengan sangat terpaksa meminta bapak itu untuk turun. Atau pengalaman dengan tiga gadis SMU yang keluar mall dengan berjalan seperti di catwalk. Meskipun macet, ketiga gadis SMU yang cantik itu sepertinya menikmati benar berada di BMW Jaki. Ada pula kisah tentang truk yang lebih memilih untuk menyerempetnya daripada Volvo. Jaki sampai dibawa ke rumah sakit, sedangkan dengan empat lembar lima puluh ribuan, supir Volvo itu dapat membius polisi. Banyak sekali kenangan…
            Ah, kau memang sangat berjasa… pikirnya kepada BMW yang terus membisu itu.
***
            Sepulang dari menjenguk Tika, Jaki terlihat sangat bahagia. Wajahnya bahkan bersinar lebih terang dari matahari sekalipun. Tampaknya ia benar-benar menyukai Tika. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran Jaki, kenapa Tika yang pintar, cantik, dan populer itu bisa tertarik padanya? Apa karena kedua temanku berkata kalau aku punya BMW? Apakah Tika tak tahu kalau mereka cuma berusaha membuat lelucon konyol? Jaki terus bertanya pada dirinya sendiri.
            Tiga hari kemudian, karena Babeh Jaki lagi-lagi sakit-sakitan, Jaki terpaksa kembali lagi berpetualang dengan BMW-nya. Toko kelontong tidak cukup untuk membiayai semua biaya skripsi dan wisudanya.
            Maka aku dan Budi makan siang di kantin Bu Eti tanpa Jaki.
            “Eh, batang hidung Jaki yang jerawatan itu kok enggak keliatan-keliatan, ya?” Budi bertanya sambil melahap nasi goreng kambing favoritnya.
            “Oh, ya. Tadi gua ketemu dia di dekanat, katanya babehnya sakit-sakitan lagi. Makanya dia sekarang kembali bermesraan dengan BMW-nya itu,” kataku baru teringat.
            “Wah, Jaki kan hanya gagal tiga kali meraih cum laude dari semester satu sampai skripsi sekarang ini. Sayang kalau kuliahnya ditinggalin, kan?” Budi memasang tampang cemas.
            “Yah… begitulah dia…” kataku menyetujui.

            Setelah mengisi perut di warteg, Jaki kembali masuk ke BMW kesayangannya. Baru saja ia hendak menghidupkan mesin ketika sebuah suara menyapanya.
            “Bang, ke Kalimalang, ya,” ujar suara yang sangat tidak asing itu. Dan benar saja, ketika Jaki menoleh, dia melihat Tika dengan dandanan super cantik dan gaun mahal yang ketat sedang menunggu jawaban.
            “Tika? Dari mana siang bolong begini?” kata Jaki sambil tersenyum santai.
            Tika terbelalak. “Elu… Jaki!? Ngapain elu di sini? Katanya elu punya BMW?? Jadi selama ini elu ngebohongin gua?” jeritnya.
            “Loh? Siapa yang bohong? Inilah BMW gua! Bajajku Merah Warnanya! Disingkat jadi BMW, kan?” balas Jaki sekenanya. “Masa elu percaya gurauan temen gua sih? Elu cinta gua apa BMW gua sebenernya?”
            Tika terdiam. Mukanya terlihat jijik. “Pokoknya sekarang elu jangan deket-deket gua lagi! Gua enggak mau punya pacar supir bajaj! Dasar miskin!” teriaknya sambil berlalu.
            Dasar miskin… Ucapan itu membuat Jaki tersentak. Dia tidak marah. Dia tidak dendam. Dia cuma heran, mengapa gadis-gadis selalu menilai cowok dari ketampanan dan kekayaan? Bukankah cinta yang didasarkan atas ketampanan dan kekayaan itu akan cepat mati—seperti ketampanan dan kekayaan itu sendiri?

            Kembali ke masa sekarang…
            Di rumah Budi, Jaki dan aku main PS sementara Budi sibuk mengunyah nasi goreng Bu Eti yang dia bungkus tadi. Jaki memang jagoan PS, aku selalu dikalahkannya dengan skor telak.
            “Sekarang gua udah tenang, kok,” tiba-tiba Jaki memasang tampang serius dan meletakkan stik PS. “Yang bikin gua uring-uringan seperti ini sebenernya bukan masalah Tika. Hanya saja, gua akan meninggalkan kalian untuk sementara. Lamaran gua jadi chief manager perusahaan Jepang diterima. Dan gua akan ditempatkan di sana,” ujar Jaki dengan nada lesu.
            “Loh? Kabar baik sekali itu! Harusnya elu hepi, kan?” aku tersenyum padanya.
            Budi meletakkan nasi gorengnya dan merangkul pundak kami dari tengah. “Hei, Jak. Selamat, ya! Elu emang hebat! Asal tau aja, kita ini selalu ngedukung elu, bener enggak?” Budi meminta dukunganku.
            “Pasti itu. Kita pasti bisa ketemu lagi, kan? Jadilah orang yang berjaya dan tunjukin sama cewek-cewek matre itu kalau elu pun bisa menjadi sosok yang mereka kejar-kejar!” seruku bersemangat.
            Dapat kulihat mata Jaki berkaca-kaca…
            Yah, pergilah, sobat! Jangan khawatirkan kami. Kami akan selalu ada untukmu…

            Tujuh tahun kemudian…
            Sebuah BMW merah dengan seri 320i berjalan mulus dan mantap memasuki perkarangan yang luasnya hampir satu hektar itu. Seseorang keluar dari dalamnya. Dia memakai setelan jas mahal dan kacamata hitam. Dia kelihatan sangat tampan dan berwibawa. Dengan sigap ia berlari menuju sisi mobil yang satunya untuk membukakan pintu untuk kekasihnya, Thrya.
         Mereka bergandengan memasuki rumah supermegah dengan beralaskan karpet merah maron.
          “Sebentar, sayang,” kata si pemuda tampan ini kepada Thrya ketika ia beralih ke satu ruangan khusus di sisi rumahnya. Dengan sabar Thrya mengikuti pemuda itu membuka pintu besar yang terbuat dari kaca tahan peluru.
         Ruangan itu sangat besar. Hampir semuanya berawarna putih bersih. Udara sejuk langsung menyapa mereka. Ada dua sofa mewah berwarna coklat di sudut ruangan megah itu. Di tengahnya ada meja ukiran. Sedangkan di sampingnya ada kulkas tiga pintu. Dan di pusat ruangan itu, di dalam boks kaca yang lux, sebuah bajaj merah bertengger dengan penuh kebanggaan…

Jatinangor, 2001

No comments:

Post a Comment