Aku melihat sebuah
amplop di atas meja tamuku. Aku mengambil dan merobek ujung amplop itu dan
membuka lipatan kertas di dalamnya. Dengan hati-hati aku membaca deretan
kata-kata yang diketik rapi.
Dear
Lenne,
Baru
kurasakan kalau darah itu begitu manis. Seperti anggur matang yang baru diperas
dari pohonnya. Begitu dingin, menyegarkan, sekaligus menggairahkan.
Kau
tahu, Lenne? Terkadang hal terpahit pun bisa menjadi kenangan penuh gulali
dunia. Seperti keterlambatan seorang pilot yang menyelamatkan ribuan jiwa dari
kecelakaan tragis yang seharusnya menimpa mereka, aku pun merasakan darah
dengan begitu nikmatnya.
Aku
senang bisa mengenalmu. Aku sangat bersyukur kita bisa sempat
berbincang-bincang lama tentang keadaan diri kita. Sungguh. Bagiku semua itu
benar-benar saat yang menyenangkan. Namun kurasa inilah waktu lain ketika aku
harus mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal yang sebenar-benarnya. Tidak
ada lagi sampai jumpa.
Aku mengerutkan keningku.
Surat apa, sih, ini?
Kataku dalam hati sambil membalik-balik amplopnya. Di belakang amplop itu tidak
ada nama pengirim.
Dengan gundah aku
melanjutkan membaca surat itu.
Aku
ingin melangkahkan kakiku setiap saat untuk mendekatimu. Setidaknya aku ingin
meneleponmu untuk sekedar bilang “Hai.” Namun saat ini rasanya aku sudah tak
sanggup lagi.
Lenne,
biar kuceritakan satu rahasia besar tentang diriku. Dari dulu tubuhku adalah
hal termisterius dalam hidupku. Aku selalu terbingung-bingung memikirkan kenapa
fisikku begitu lemah? Kenapa mataku selalu merah? Mengapa kepala kiriku sering
terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum? Kenapa aku sering lupa? Kenapa
setiap bangun tidur di bantal kepalaku tertinggal puluhan helai rambutku? Dan
akhir-akhir ini, kenapa setelah sakit di kepala kiri, sering keluar darah segar
dari telingaku? Akhirnya sekarang aku tahu. Inilah takdir hidupku. Jalan
panjang yang harus kulalui saat ini memang sangat jelek. Tapi itu jalanku. Dan
aku harus melewatinya.
Aku berhenti sejenak. Memikirkan orang
yang kukenal. Orang yang selama ini selalu memperhatikanku. Siapa?
Aku berpikir dan
berpikir… sampai terbersit bayangan wajah dalam benakku.
Ah, masa dia, sih?
Tapi memang dialah cowok yang mengejarku mati-matian dari awal kelas tiga SMU.
Memberiku segala tetek bengek murahan yang sama sekali tak berguna. Sampai
berusaha menarik simpatiku dengan segala cara, seperti memberi contekan, atau
menyuguhiku gambar-gambar yang menurutnya sangat penuh perasaan. Yaiks! Satu
kesan yang selalu kuterima dari dia adalah, dia menjijikkan!
Setengah meringis, aku melanjutkan
membaca. Berharap menemukan sesuatu yang dapat membuktikan kalau surat ini
bukan darinya.
Pada saat semua
berubah pekat, sebagai permohonan terakhir, aku ingin melihatmu tersenyum
bahagia. Aku ingin melihatnya. Senyumanmu yang benar-benar dari dalam hatimu.
Bawalah tunanganmu itu dan tersenyumlah untuknya di depanku. Dengan begitu, aku
yakin kau bisa menciptakan senyuman tulusmu. Senyuman yang tak pernah
kauberikan untukku, biarkanlah aku melihatnya dengan daya lihatku yang
terakhir.
Wah, dia tahu kalau
aku sudah bertunangan? Ini bukan main-main. Rasanya dugaanku ini semakin tepat
saja.
Aku beralih ke
lembaran kedua. Masih menyisakan harapan kalau ini bukan darinya. Kumohon, dari
siapa sajalah, asal jangan Shuyin!
Kuberharap aku bisa
tersenyum pula ketika malaikat mulai menarik-menarikku, memerintahkanku untuk
segera menutup mataku. Namun, aku teringat satu kebiasaanmu: Kau tak pernah
bisa memenuhi harapanku. Tak pernah…
Maka
aku memutuskan untuk menelan sendiri kenyataan hidup ini. Sebesar apa pun aku
membutuhkanmu, kau takkan pernah ada untukku. Bahkan untuk saat terakhirku pun,
kurasa kau takkan sudi melihatku. Kau memang tak pernah peduli padaku. Dan itu
bukan salahmu. Kau melakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Dua
puluh tiga Maret 2002, selama dua jam empat puluh tujuh menit, bisa dikatakan
kita berkencan. Aku tahu aku mengacaukan semuanya. Aku memang tak
berpengalaman. Dan kau telah mencapku sebagai pemuda menyedihkan. Tapi di balik
semua itu, aku sangat bahagia bisa bersamamu. Kekasihmu pasti sangat senang dan
bersyukur tiada tara bisa memiliki istri seperti dirimu Yah… aku selalu berdoa
untuk kebahagiaanmu. Aku bersyukur atas takdirku ini. Mungkin Tuhan punya
rencana lain untukku. Rencana yang sama sekali tak perlu melibatkanmu yang
bahkan tak sudi untuk sekedar mencemaskanku sebagai manusia yang bernyawa. Jika
aku tak berharga, maka apakah nyawaku juga setakberharga jiwaku? Aku
berdoa agar tak usah ada lagi Lenne-Lenne di kehidupanku selanjutnya. Dan bila
tak terkabulkan, aku akan mati dan mati lagi. Hanya dengan matilah aku dapat
membebaskan diri dari jajahanmu yang kau sendiri tak pernah sadar telah
melakukannya.
Ini sudah pasti dia! Hanya dialah cowok
yang pernah kukencani dalam waktu kurang dari tiga jam karena bosannya.
Tapi yang tak
kumengerti, tentang apa yang ia sampaikan. Apakah semacam pemberitahuan kalau
ia sedang sekarat di suatu tempat? Dan permintaan untuk mengunjunginya?
Ngaco sekali! Apa pun
yang terjadi, aku takkan pernah peduli padanya. Kalau dia mati, mati saja sana. Itu sama sekali bukan urusanku. Itu sudah
takdirnya.
Oh, ternyata masih ada
paragraf terakhir di surat ini.
Jangan khawatir,
aku takkan menghantuimu. Urusanku di dunia ini sudah selesai sampai di sini.
Akhirnya, selamat tinggal selamanya… kali ini aku benar-benar takkan
mengganggumu lagi. Bukannya aku tak mau, tapi karena aku sudah tak bisa…
Aku membanting surat itu ke lantai.
Heh, kaukira aku akan
terperdaya oleh tipuan murahanmu, Shuyin? Lihatlah kalender, ini tanggal satu
April! April Mop kan? Kau ingin membuat sesuatu yang lucu buatku, kan? Nah,
kuberitahu saja kalau kau GAGAL TOTAL!
Lagipula kalaupun itu
benar, aku tak peduli. Memangnya kau ini siapa? Leonardo di Caprio? Sebaiknya
kau berkaca dulu kalau mau mendekati cewek.
Aku terlalu berharga diri untuk bisa kaupancing dalam perangkap kacanganmu ini.
Sambil merasa konyol
karena telah menghabiskan waktu membaca surat tak bermutu itu, aku bergegas ke
kamarku. Dan saat itu telepon di ruang tamu berbunyi.
Aku mengenyakkan diri
ke sofa di samping telepon dan meraih gagang telepon itu. “Halo?” kataku tak
sabar.
Oh, ya ampun…
sekarang dia meneleponku! Aku mendengus kesal. Tak cukupkah menyiksaku
dengan sebuah surat saja?
“Yeah? Ada apa?” tanyaku sengit, nadanya
sama sekali tak peduli.
“Se… ma… t… alm…” suara Shuyin terputus-putus
dan menjadi serak…
Aku menempelkan lebih
ketat lagi telepon itu ke telingaku. “Kau ngomong apa, sih?” tanyaku galak.
“Sela… mat… malam…”
sekarang suaranya seperti orang lain. Begitu tak bersemangat, begitu tak
bertenaga…
Huh… berusaha agar aku kasihan padamu
dengan memasang suara menyedihkan itu? Enggak mempan! Cari cara lain yang lebih
kreatif bisa tidak, sih?
“Yeah. Terima kasih.
Sudah, kan? Begitu saja, kan?” tanganku sudah tak sabar ingin membanting gagang
telepon itu dan bebas darinya. Lagipula, apa maksudnya menelepon hanya untuk
bilang ‘selamat malam’? Memangnya dia siapa? Pacarku? Wueek! Aku bisa
terkena gangguan pencernaan karena selalu muntah melihat wajahnya setiap hari
kalau dia pacarku.
Aku mendengarkan,
ingin tahu cara apa lagi yang ia pakai untuk membuatku bete kali ini. Tapi aku
hanya mendengar bunyi benturan. Seperti bahan plastik yang terjatuh…
Apakah dia menjatuhkan
teleponnya saking gugupnya?
Aku menunggu dia
bermaaf-maaf menyebalkan seperti biasanya. Tapi tidak… tak terdengar apa-apa…
Bahkan dentuman nada sibuk yang statispun tak ada… Ini berarti teleponnya belum
ditutup.
Sedang apa dia? Aku menunggu beberapa detik…
Aaah! Peduli amat! Dengan malas aku membanting telepon dan
beranjak ke kamarku. Dan, tak seperti biasanya, telepon itu tak berdering lagi…
*****
Aku membelai lembut rambut Seymour yang
terurai panjang. Aku mengawasi wajah seriusnya yang sedang menatap lekat
televisi di depannya. Paras polosnya membuatku tersenyum kecil.
“Serius amat nontonnya?” kataku, masih
sibuk memilah-milah rambutnya.
“Hm? Yaa… soalnya aku belum nonton film
ini…” dia menoleh ke arahku sejenak, melempar senyum.
“Kau masih ingat cowok menyebalkan yang
mati-matian mengejarku? Yang sering aku ceritakan itu?”
“Hah?” Seymour balas menatapku secara tak
wajar. Ekspresinya berbalik total. “Mengejarmu mati-matian? Siapa??” tanyanya
hampir tak percaya. Dia beringsut duduk dan mematikan TV, berbalik mengadapku.
“Ceritakan padaku!”
Aku tak kalah terkejutnya. “Kau ini
kenapa? Aku sudah menceritakan ini ribuan kali, karena ribuan kali juga dia
menembakku dengan berbagai cara…”
“Menembakmu?? Tidak… aku belum
pernah dengar tentang ini… Siapa dia, Lenne?” potong Seymour, ekspresinya
semakin mengeras.
“Shuyin… Masa kau tidak ingat, sih? Teman
sekelasku itu… Tidak mungkin kau tidak ingat…” kataku putus asa.
Ya! Bagaimana mungkin Seymour tidak
ingat? Dulu ia hanya tersenyum-senyum karena merasa lucu Shuyin berani
menembakku. Seymour dan aku sama-sama setuju kalau dia takkan bisa membuat
apa-apa di antara kami. Kami sepakat kalau ia sama sekali tidak bisa dikatakan
pesaing Seymour… Dan sekarang, mengapa Seymour bisa melupakannya??
Seymour terlihat sangat tidak percaya
dengan apa yang didengarnya. Saat ini mungkin ia berpikir kalau aku telah
mempermainkannya atau apa. Ekspresinya benar-benar tidak menyiratkan satu pun
kepercayaan.
“Shu… siapa? Aku bahkan belum pernah
mendengar namanya!”
***
Keesokan paginya aku buru-buru pergi ke sekolah.
Aku masih penasaran tentang insiden tadi malam. Mana mungkin Seymour belum
pernah mendengar nama Shuyin? Hal ini terus menggaung-gaung di kepalaku. Untuk
itulah aku akan memastikannya.
Shuyin selalu datang lebih pagi untuk
menyediakan pizza dan sebotol air dingin di laci mejaku. Aku akan tahu apa yang
terjadi kalau aku menemuinya.
Kelasku sudah terlihat. Beberapa teman
menyapaku, tapi aku tak memedulikannya. Aku masuk ke kelas dan melihat ke
bangku duduk terdepan milik Shuyin…
Apakah ia terlambat? Ah, tidak mungkin.
Selama ini dia tidak pernah terlambat. Tidak kalau tentang kepentinganku.
Aku bergegas ke mejaku dan memeriksa
lacinya…
Mulutku menganga… Apa… apa yang
sebenarnya terjadi?
Aku bergegas ke salah satu teman yang
menyapaku tadi.
“Kalian tahu ke mana Shuyin?” tanyaku
dengan nada buru-buru.
Mereka semua mengerutkan dahi mereka.
“Siapa?”
“Shuyin! Yang duduk di depan! Yang
semester kemarin ranking satu!? Masa tidak kenal, sih!?” aku setengah berteriak
sambil menunjuk kursi Shuyin.
Mereka mengikuti telunjukku dan semakin
terlihat bingung. “Loh? Yang ranking satu kemarin ‘kan aku. Lagipula, kursi itu
dari dulu kosong…”
Pikiranku berputar-putar. Suaranya masih
ada di kepalaku. Wajahnya masih bisa kulihat dengan jelas di bayanganku. Lalu,
apa ini? Apa yang sedang terjadi?
Semakin bingung dan bingung, aku merogoh
tasku, mengambil ponselku, dan menghubungi nomor Shuyin yang pernah kupakai
sekali waktu aku mau meminjam bukunya dulu.
Beberapa detik dunia terasa hening. Lalu
ada suara operator komputer menjawab: nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar. The number
you are calling is unregistered, please make sure that…
Ponsel itu hampir terjatuh dari
genggamanku. Otakku terus berputar cepat. Sementara bayang-bayang ingatan
tentang Shuyin terus berkelebatan dalam benakku. Aku terus berpikir… berpikir…
terus mencoba untuk menemukan penjelasan yang masuk akal atas semua ini…
Aku menarik napas panjang…
Buntu. Semua itu berakhir pada kalimat, Sejak
dulu, Shuyin itu tidak ada… Dia tak pernah ada…
Lalu? Siapa atau apa yang selama
ini terus memohon-mohon cintaku? Khayalanku? Selama satu tahun aku berkhayal?
Tidak. Tidak ada alasan mengapa aku harus
mengimajinasikannya… aku sudah punya orang yang mencintaiku. Aku tak lagi
mendamba untuk dicintai karena aku selalu dicintai sejak dulu…
Dengan lemas aku terduduk di bangku depan
kelas. Beberapa detik aku mengingat-ingat apa yang terjadi belum lama ini…
Oh ya! Surat itu! Surat aneh dari Shuyin
itu! Aku menyelipkannya dalam buku kemarin setelah membacanya. Rencananya akan
kutunjukkan pada teman-temanku dan menertawakannya bersama-sama.
Maka aku membuka tasku dan membuka buku
itu.
Ada. Surat itu ada. Dengan cepat kuraih
surat itu dan kukeluarkan lembarannya dari amplop…
Ternyata hanya kertas kosong… Tidak satu
bercak pun di kertas putih itu. Aku membolak-balikkannya tak percaya.
Benar-benar kosong…
***
“Seseorang yang mencintai saya...”
“Entahlah. Seharusnya memang dia. Aku
mencintai Seymour… Tapi aku ingin bertemu dengan orang lain saat ini…”
“Kau tahu kalau Seymour mencintaimu?”
“Kau tahu ia mencintaimu? Atau kau percaya
kalau ia mencintaimu?”
“Nak, kadang-kadang, cinta kita kepada
seseorang membuat kita percaya akan sesuatu yang belum bisa dipastikan… Hal itu
kita yakini karena kita mencintainya dan ingin agar kenyataan terbaiklah yang
ada. Padahal kenyataan tidak selalu indah…”
“Ya, ya. Mungkin saja seperti yang kau
pikirkan itu. Tapi, mengapa kau ingin bertemu dengan orang lain itu? Apa yang
membuat ia berbeda dengan para pengagummu yang lain?”
“Namanya Shuyin… Aku selalu
meremehkannya. Dia sama sekali bukan tipeku. Tapi…”
“Dia bisa membuatmu yakin kalau dia
benar-benar mencintaimu?”
“Apakah rasanya berbeda?”
“Ketika Shuyin menyatakan cintanya—dan
ketika Seymour menyatakan cintanya… apakah rasanya berbeda?”
“Itulah sulitnya cinta, Nak. Kau tidak
bisa memilih oleh siapa kau dicintai. Ketika cinta itu datang, kau bisa dengan
mudah menepisnya dengan alasan kau tidak mencintainya. Tapi, Nak, kalau bagimu
kebahagiaan adalah dicintai daripada mencintai, seharusnya kau menerima cinta
yang datang itu. Karena, dia mencintaimu. Dan karena dia mencintaimu, maka
kebahagiaanmu adalah hukum tertinggi. Karena dia mencintaimu, maka seluruh
hidupnya akan didedikasikan untukmu. Dan itu hanya bisa dilakukan olehnya…”
“……lalu… di mana Shuyin sekarang?”
“Inilah bagian tersulitnya. Cinta seperti
itu sebenarnya tidak ada…”
“Semenjak kau mengenal Shuyin, pada saat
itu pulalah April Fool-mu dimulai…”
“Cinta semurni itu hanya ada dalam
angan-anganmu yang terdalam. Kau pernah memikirkan ini, bukan? Yang mengagumi
dan ingin menjadi pacarmu memang tidak terhitung. Semuanya bilang kalau mereka
mencintaimu. Tapi kenapa dalam hatimu kau ragu akan mereka?”
“Ya, ya. Kau begitu ingin dicintai dengan
taraf paling murni di alam semesta. Cinta yang membuatnya rela melakukan apa
saja untuk dirimu. Yang membuatnya merencanakan segalanya untuk kebahagiaanmu.
Cinta yang membuatnya menerima dirimu apapun keadaanmu. Dan bahkan cinta yang
membuatnya berpaling serta mengorbankan semua yang telah ia raih tanpa pamrih
apa pun. Dan karena hal itu tidak mungkin—sebab cinta macam itu tidak ada, maka
kau membuatnya sendiri…”
“Ya, Nak. Dia adalah ciptaanmu sendiri.”
Aku melihat kakek tua berwajah bijak itu
berputar-putar membentuk pusaran dengan jumlah tak terhingga. Rasanya pusaran
itu terus menyedotku masuk… masuk… dan membuatku berputar… berputar… dan… terbangun!
“Huahh!!” aku duduk di tempat tidurku
dengan napas tersengal-sengal.
Mimpi!! Semua adegan bodoh tadi adalah mimpi?
Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika
ponselku berbunyi. Aku menelan ludah dan meraih ponsel itu dari balik bantalku.
Di layar LCD itu, tertulis: Shuyin’s calling yang berkedip-kedip.
“Yea?” kataku, berusaha terdengar biasa.
“Selamat pagi, Lenne… Tadi aku melihat
fajar di balik tirai embun yang sejuk. Warnanya benar-benar memesona. Saat itu
kuharap kau juga bisa melihatnya…”
Karena dia mencintaimu, kebahagiaanmu
adalah hukum tertinggi…
“Oh, ya?” tukasku, masih berusaha
terdengar cuek.
“Sebentar lagi kita lulus SMU. Aku sudah
mendaftar untuk masuk perguruan tinggi terkemuka agar aku bisa jadi pemuda yang
mapan di kemudian hari…”
Karena dia mencintaimu, maka ia akan
merencanakan segalanya untukmu…
“Kenapa repot-repot? Nanti juga aku bakal
tua dan keriput…”
“Kebetulan saja kau ada di jasad yang sempurna
saat ini. Kalaupun kau ada di jasad seorang nenek-nenek, aku tetap tak bisa
membuang perasaan ini. Sudah kubilang
‘kan? Aku mencintaimu karena kau adalah Lenne. Bukan karena kau cantik atau
apa…”
Karena dia mencintaimu, dia akan menerima
dirimu, apapun keadaanmu…
Aku akhirnya tak bisa lagi untuk tidak
tersenyum.
“Shu, hari ini aku main ke rumahmu boleh
tidak?”
“EH? Ke… kenapa tiba-tiba…”
“Oh, jadi tidak boleh? Ya sudah…”
“Bu… bukan begitu… Boleh, boleh. Tentu
saja boleh!”
Dan karena dia mencintaimu dengan cinta
semurni itu, maka satu kesempatan—walaupun bertajuk April Fool sekali pun--
rasanya cukup adil jika diberikan untuknya…
Human always want to have everything they WANT,
but they always forget what they NEED. In fact, they do NOT know what they need.