Total Pageviews

October 17, 2013

April Fool



           
     Aku melihat sebuah amplop di atas meja tamuku. Aku mengambil dan merobek ujung amplop itu dan membuka lipatan kertas di dalamnya. Dengan hati-hati aku membaca deretan kata-kata yang diketik rapi.

        Dear Lenne,

     Baru kurasakan kalau darah itu begitu manis. Seperti anggur matang yang baru diperas dari pohonnya. Begitu dingin, menyegarkan, sekaligus menggairahkan.
     Kau tahu, Lenne? Terkadang hal terpahit pun bisa menjadi kenangan penuh gulali dunia. Seperti keterlambatan seorang pilot yang menyelamatkan ribuan jiwa dari kecelakaan tragis yang seharusnya menimpa mereka, aku pun merasakan darah dengan begitu nikmatnya.
     Aku senang bisa mengenalmu. Aku sangat bersyukur kita bisa sempat berbincang-bincang lama tentang keadaan diri kita. Sungguh. Bagiku semua itu benar-benar saat yang menyenangkan. Namun kurasa inilah waktu lain ketika aku harus mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal yang sebenar-benarnya. Tidak ada lagi sampai jumpa.

      Aku mengerutkan keningku.
      Surat apa, sih, ini? Kataku dalam hati sambil membalik-balik amplopnya. Di belakang amplop itu tidak ada nama pengirim.
      Dengan gundah aku melanjutkan membaca surat itu.

      Aku ingin melangkahkan kakiku setiap saat untuk mendekatimu. Setidaknya aku ingin meneleponmu untuk sekedar bilang “Hai.” Namun saat ini rasanya aku sudah tak sanggup lagi.
       Lenne, biar kuceritakan satu rahasia besar tentang diriku. Dari dulu tubuhku adalah hal termisterius dalam hidupku. Aku selalu terbingung-bingung memikirkan kenapa fisikku begitu lemah? Kenapa mataku selalu merah? Mengapa kepala kiriku sering terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum? Kenapa aku sering lupa? Kenapa setiap bangun tidur di bantal kepalaku tertinggal puluhan helai rambutku? Dan akhir-akhir ini, kenapa setelah sakit di kepala kiri, sering keluar darah segar dari telingaku? Akhirnya sekarang aku tahu. Inilah takdir hidupku. Jalan panjang yang harus kulalui saat ini memang sangat jelek. Tapi itu jalanku. Dan aku harus melewatinya.
       Aku berhenti sejenak. Memikirkan orang yang kukenal. Orang yang selama ini selalu memperhatikanku. Siapa?
       Aku berpikir dan berpikir… sampai terbersit bayangan wajah dalam benakku.
       Shuyin?
       Ah, masa dia, sih? Tapi memang dialah cowok yang mengejarku mati-matian dari awal kelas tiga SMU. Memberiku segala tetek bengek murahan yang sama sekali tak berguna. Sampai berusaha menarik simpatiku dengan segala cara, seperti memberi contekan, atau menyuguhiku gambar-gambar yang menurutnya sangat penuh perasaan. Yaiks! Satu kesan yang selalu kuterima dari dia adalah, dia menjijikkan!
         Setengah meringis, aku melanjutkan membaca. Berharap menemukan sesuatu yang dapat membuktikan kalau surat ini bukan darinya.

    Pada saat semua berubah pekat, sebagai permohonan terakhir, aku ingin melihatmu tersenyum bahagia. Aku ingin melihatnya. Senyumanmu yang benar-benar dari dalam hatimu. Bawalah tunanganmu itu dan tersenyumlah untuknya di depanku. Dengan begitu, aku yakin kau bisa menciptakan senyuman tulusmu. Senyuman yang tak pernah kauberikan untukku, biarkanlah aku melihatnya dengan daya lihatku yang terakhir.

            Wah, dia tahu kalau aku sudah bertunangan? Ini bukan main-main. Rasanya dugaanku ini semakin tepat saja.
            Aku beralih ke lembaran kedua. Masih menyisakan harapan kalau ini bukan darinya. Kumohon, dari siapa sajalah, asal jangan Shuyin!

            Kuberharap aku bisa tersenyum pula ketika malaikat mulai menarik-menarikku, memerintahkanku untuk segera menutup mataku. Namun, aku teringat satu kebiasaanmu: Kau tak pernah bisa memenuhi harapanku. Tak pernah…
            Maka aku memutuskan untuk menelan sendiri kenyataan hidup ini. Sebesar apa pun aku membutuhkanmu, kau takkan pernah ada untukku. Bahkan untuk saat terakhirku pun, kurasa kau takkan sudi melihatku. Kau memang tak pernah peduli padaku. Dan itu bukan salahmu. Kau melakukan apa yang seharusnya kau lakukan.            Dua puluh tiga Maret 2002, selama dua jam empat puluh tujuh menit, bisa dikatakan kita berkencan. Aku tahu aku mengacaukan semuanya. Aku memang tak berpengalaman. Dan kau telah mencapku sebagai pemuda menyedihkan. Tapi di balik semua itu, aku sangat bahagia bisa bersamamu. Kekasihmu pasti sangat senang dan bersyukur tiada tara bisa memiliki istri seperti dirimu Yah… aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Aku bersyukur atas takdirku ini. Mungkin Tuhan punya rencana lain untukku. Rencana yang sama sekali tak perlu melibatkanmu yang bahkan tak sudi untuk sekedar mencemaskanku sebagai manusia yang bernyawa. Jika aku tak berharga, maka apakah nyawaku juga setakberharga jiwaku?      Aku berdoa agar tak usah ada lagi Lenne-Lenne di kehidupanku selanjutnya. Dan bila tak terkabulkan, aku akan mati dan mati lagi. Hanya dengan matilah aku dapat membebaskan diri dari jajahanmu yang kau sendiri tak pernah sadar telah melakukannya.

            Ini sudah pasti dia! Hanya dialah cowok yang pernah kukencani dalam waktu kurang dari tiga jam karena bosannya.
            Tapi yang tak kumengerti, tentang apa yang ia sampaikan. Apakah semacam pemberitahuan kalau ia sedang sekarat di suatu tempat? Dan permintaan untuk mengunjunginya?
            Ngaco sekali! Apa pun yang terjadi, aku takkan pernah peduli padanya. Kalau dia mati, mati saja sana. Itu sama sekali bukan urusanku. Itu sudah takdirnya.
            Oh, ternyata masih ada paragraf terakhir di surat ini.

    Jangan khawatir, aku takkan menghantuimu. Urusanku di dunia ini sudah selesai sampai di sini. Akhirnya, selamat tinggal selamanya… kali ini aku benar-benar takkan mengganggumu lagi. Bukannya aku tak mau, tapi karena aku sudah tak bisa…

            Aku membanting surat itu ke lantai.
            Heh, kaukira aku akan terperdaya oleh tipuan murahanmu, Shuyin? Lihatlah kalender, ini tanggal satu April! April Mop kan? Kau ingin membuat sesuatu yang lucu buatku, kan? Nah, kuberitahu saja kalau kau GAGAL TOTAL!
            Lagipula kalaupun itu benar, aku tak peduli. Memangnya kau ini siapa? Leonardo di Caprio? Sebaiknya kau berkaca dulu kalau mau mendekati cewek. Aku terlalu berharga diri untuk bisa kaupancing dalam perangkap kacanganmu ini.
            Sambil merasa konyol karena telah menghabiskan waktu membaca surat tak bermutu itu, aku bergegas ke kamarku. Dan saat itu telepon di ruang tamu berbunyi.
            Aku mengenyakkan diri ke sofa di samping telepon dan meraih gagang telepon itu. “Halo?” kataku tak sabar.
            “Lenne?”
            Oh, ya ampun… sekarang dia meneleponku! Aku mendengus kesal. Tak cukupkah menyiksaku dengan sebuah surat saja?
            “Yeah? Ada apa?” tanyaku sengit, nadanya sama sekali tak peduli.
             “Se… ma… t… alm…” suara Shuyin terputus-putus dan menjadi serak…
            Aku menempelkan lebih ketat lagi telepon itu ke telingaku. “Kau ngomong apa, sih?” tanyaku galak.
            “Sela… mat… malam…” sekarang suaranya seperti orang lain. Begitu tak bersemangat, begitu tak bertenaga…
     Huh… berusaha agar aku kasihan padamu dengan memasang suara menyedihkan itu? Enggak mempan! Cari cara lain yang lebih kreatif bisa tidak, sih?
            “Yeah. Terima kasih. Sudah, kan? Begitu saja, kan?” tanganku sudah tak sabar ingin membanting gagang telepon itu dan bebas darinya. Lagipula, apa maksudnya menelepon hanya untuk bilang ‘selamat malam’? Memangnya dia siapa? Pacarku? Wueek! Aku bisa terkena gangguan pencernaan karena selalu muntah melihat wajahnya setiap hari kalau dia pacarku.
            Aku mendengarkan, ingin tahu cara apa lagi yang ia pakai untuk membuatku bete kali ini. Tapi aku hanya mendengar bunyi benturan. Seperti bahan plastik yang terjatuh…
            Apakah dia menjatuhkan teleponnya saking gugupnya?
            Aku menunggu dia bermaaf-maaf menyebalkan seperti biasanya. Tapi tidak… tak terdengar apa-apa… Bahkan dentuman nada sibuk yang statispun tak ada… Ini berarti teleponnya belum ditutup.
Sedang apa dia? Aku menunggu beberapa detik…
Aaah! Peduli amat! Dengan malas aku membanting telepon dan beranjak ke kamarku. Dan, tak seperti biasanya, telepon itu tak berdering lagi…

*****


Aku membelai lembut rambut Seymour yang terurai panjang. Aku mengawasi wajah seriusnya yang sedang menatap lekat televisi di depannya. Paras polosnya membuatku tersenyum kecil.
“Serius amat nontonnya?” kataku, masih sibuk memilah-milah rambutnya.
“Hm? Yaa… soalnya aku belum nonton film ini…” dia menoleh ke arahku sejenak, melempar senyum.
“Seymour?”
“Hm?”
“Kau masih ingat cowok menyebalkan yang mati-matian mengejarku? Yang sering aku ceritakan itu?”
“Hah?” Seymour balas menatapku secara tak wajar. Ekspresinya berbalik total. “Mengejarmu mati-matian? Siapa??” tanyanya hampir tak percaya. Dia beringsut duduk dan mematikan TV, berbalik mengadapku. “Ceritakan padaku!”
Aku tak kalah terkejutnya. “Kau ini kenapa? Aku sudah menceritakan ini ribuan kali, karena ribuan kali juga dia menembakku dengan berbagai cara…”
Menembakmu?? Tidak… aku belum pernah dengar tentang ini… Siapa dia, Lenne?” potong Seymour, ekspresinya semakin mengeras.
“Shuyin… Masa kau tidak ingat, sih? Teman sekelasku itu… Tidak mungkin kau tidak ingat…” kataku putus asa.
Ya! Bagaimana mungkin Seymour tidak ingat? Dulu ia hanya tersenyum-senyum karena merasa lucu Shuyin berani menembakku. Seymour dan aku sama-sama setuju kalau dia takkan bisa membuat apa-apa di antara kami. Kami sepakat kalau ia sama sekali tidak bisa dikatakan pesaing Seymour… Dan sekarang, mengapa Seymour bisa melupakannya??
Seymour terlihat sangat tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Saat ini mungkin ia berpikir kalau aku telah mempermainkannya atau apa. Ekspresinya benar-benar tidak menyiratkan satu pun kepercayaan.
“Shu… siapa? Aku bahkan belum pernah mendengar namanya!”

***

Keesokan paginya aku buru-buru pergi ke sekolah. Aku masih penasaran tentang insiden tadi malam. Mana mungkin Seymour belum pernah mendengar nama Shuyin? Hal ini terus menggaung-gaung di kepalaku. Untuk itulah aku akan memastikannya.
Shuyin selalu datang lebih pagi untuk menyediakan pizza dan sebotol air dingin di laci mejaku. Aku akan tahu apa yang terjadi kalau aku menemuinya.
Kelasku sudah terlihat. Beberapa teman menyapaku, tapi aku tak memedulikannya. Aku masuk ke kelas dan melihat ke bangku duduk terdepan milik Shuyin…
Tidak ada siapa-siapa.
Apakah ia terlambat? Ah, tidak mungkin. Selama ini dia tidak pernah terlambat. Tidak kalau tentang kepentinganku.
Aku bergegas ke mejaku dan memeriksa lacinya…
Kosong.
Mulutku menganga… Apa… apa yang sebenarnya terjadi?
Aku bergegas ke salah satu teman yang menyapaku tadi.
“Kalian tahu ke mana Shuyin?” tanyaku dengan nada buru-buru.
Mereka semua mengerutkan dahi mereka. “Siapa?”
“Shuyin! Yang duduk di depan! Yang semester kemarin ranking satu!? Masa tidak kenal, sih!?” aku setengah berteriak sambil menunjuk kursi Shuyin.
Mereka mengikuti telunjukku dan semakin terlihat bingung. “Loh? Yang ranking satu kemarin ‘kan aku. Lagipula, kursi itu dari dulu kosong…”
Aku melongo.
Pikiranku berputar-putar. Suaranya masih ada di kepalaku. Wajahnya masih bisa kulihat dengan jelas di bayanganku. Lalu, apa ini? Apa yang sedang terjadi?
Semakin bingung dan bingung, aku merogoh tasku, mengambil ponselku, dan menghubungi nomor Shuyin yang pernah kupakai sekali waktu aku mau meminjam bukunya dulu.
Beberapa detik dunia terasa hening. Lalu ada suara operator komputer menjawab: nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar. The number you are calling is unregistered, please make sure that…
Ponsel itu hampir terjatuh dari genggamanku. Otakku terus berputar cepat. Sementara bayang-bayang ingatan tentang Shuyin terus berkelebatan dalam benakku. Aku terus berpikir… berpikir… terus mencoba untuk menemukan penjelasan yang masuk akal atas semua ini…
Aku menarik napas panjang…
Buntu. Semua itu berakhir pada kalimat, Sejak dulu, Shuyin itu tidak ada… Dia tak pernah ada…
Lalu? Siapa atau apa yang selama ini terus memohon-mohon cintaku? Khayalanku? Selama satu tahun aku berkhayal?
Tidak. Tidak ada alasan mengapa aku harus mengimajinasikannya… aku sudah punya orang yang mencintaiku. Aku tak lagi mendamba untuk dicintai karena aku selalu dicintai sejak dulu…
Lalu apa ini? Apa ini?
Dengan lemas aku terduduk di bangku depan kelas. Beberapa detik aku mengingat-ingat apa yang terjadi belum lama ini…
Oh ya! Surat itu! Surat aneh dari Shuyin itu! Aku menyelipkannya dalam buku kemarin setelah membacanya. Rencananya akan kutunjukkan pada teman-temanku dan menertawakannya bersama-sama.
Maka aku membuka tasku dan membuka buku itu.
Ada. Surat itu ada. Dengan cepat kuraih surat itu dan kukeluarkan lembarannya dari amplop…
Ternyata hanya kertas kosong… Tidak satu bercak pun di kertas putih itu. Aku membolak-balikkannya tak percaya. Benar-benar kosong…

***

“Mencari siapa, Nak?”
“Seseorang yang mencintai saya...”
“Bukankah itu Seymour?”
“Entahlah. Seharusnya memang dia. Aku mencintai Seymour… Tapi aku ingin bertemu dengan orang lain saat ini…”
“Kau tahu kalau Seymour mencintaimu?”
“Saya tahu.”
“Kau tahu ia mencintaimu? Atau kau percaya kalau ia mencintaimu?”
“……”
“Nak, kadang-kadang, cinta kita kepada seseorang membuat kita percaya akan sesuatu yang belum bisa dipastikan… Hal itu kita yakini karena kita mencintainya dan ingin agar kenyataan terbaiklah yang ada. Padahal kenyataan tidak selalu indah…”
“Jadi… “
“Ya, ya. Mungkin saja seperti yang kau pikirkan itu. Tapi, mengapa kau ingin bertemu dengan orang lain itu? Apa yang membuat ia berbeda dengan para pengagummu yang lain?”
“Namanya Shuyin… Aku selalu meremehkannya. Dia sama sekali bukan tipeku. Tapi…”
“Dia bisa membuatmu yakin kalau dia benar-benar mencintaimu?”
“…… ya…”
“Apakah rasanya berbeda?”
“Antara apa?”
“Ketika Shuyin menyatakan cintanya—dan ketika Seymour menyatakan cintanya… apakah rasanya berbeda?”
“…… ya… berbeda…”
“Itulah sulitnya cinta, Nak. Kau tidak bisa memilih oleh siapa kau dicintai. Ketika cinta itu datang, kau bisa dengan mudah menepisnya dengan alasan kau tidak mencintainya. Tapi, Nak, kalau bagimu kebahagiaan adalah dicintai daripada mencintai, seharusnya kau menerima cinta yang datang itu. Karena, dia mencintaimu. Dan karena dia mencintaimu, maka kebahagiaanmu adalah hukum tertinggi. Karena dia mencintaimu, maka seluruh hidupnya akan didedikasikan untukmu. Dan itu hanya bisa dilakukan olehnya…”
“……lalu… di mana Shuyin sekarang?”
“Inilah bagian tersulitnya. Cinta seperti itu sebenarnya tidak ada…”
“Apa?”
“Semenjak kau mengenal Shuyin, pada saat itu pulalah April Fool-mu dimulai…”
“Apa maksudnya??”
“Cinta semurni itu hanya ada dalam angan-anganmu yang terdalam. Kau pernah memikirkan ini, bukan? Yang mengagumi dan ingin menjadi pacarmu memang tidak terhitung. Semuanya bilang kalau mereka mencintaimu. Tapi kenapa dalam hatimu kau ragu akan mereka?”
“Ja… jadi…”
“Ya, ya. Kau begitu ingin dicintai dengan taraf paling murni di alam semesta. Cinta yang membuatnya rela melakukan apa saja untuk dirimu. Yang membuatnya merencanakan segalanya untuk kebahagiaanmu. Cinta yang membuatnya menerima dirimu apapun keadaanmu. Dan bahkan cinta yang membuatnya berpaling serta mengorbankan semua yang telah ia raih tanpa pamrih apa pun. Dan karena hal itu tidak mungkin—sebab cinta macam itu tidak ada, maka kau membuatnya sendiri…”
“Ja… jadi… Shuyin…”
“Ya, Nak. Dia adalah ciptaanmu sendiri.”
Aku melihat kakek tua berwajah bijak itu berputar-putar membentuk pusaran dengan jumlah tak terhingga. Rasanya pusaran itu terus menyedotku masuk… masuk… dan membuatku berputar… berputar… dan… terbangun!
“Huahh!!” aku duduk di tempat tidurku dengan napas tersengal-sengal.
Mimpi!! Semua adegan bodoh tadi adalah mimpi?
Aku masih belum sepenuhnya sadar ketika ponselku berbunyi. Aku menelan ludah dan meraih ponsel itu dari balik bantalku. Di layar LCD itu, tertulis: Shuyin’s calling yang berkedip-kedip.
Di… dia ternyata ada!
“Yea?” kataku, berusaha terdengar biasa.
“Selamat pagi, Lenne… Tadi aku melihat fajar di balik tirai embun yang sejuk. Warnanya benar-benar memesona. Saat itu kuharap kau juga bisa melihatnya…” 

Karena dia mencintaimu, kebahagiaanmu adalah hukum tertinggi…

“Oh, ya?” tukasku, masih berusaha terdengar cuek.
“Sebentar lagi kita lulus SMU. Aku sudah mendaftar untuk masuk perguruan tinggi terkemuka agar aku bisa jadi pemuda yang mapan di kemudian hari…”

Karena dia mencintaimu, maka ia akan merencanakan segalanya untukmu…

“Kenapa repot-repot? Nanti juga aku bakal tua dan keriput…”
“Kebetulan saja kau ada di jasad yang sempurna saat ini. Kalaupun kau ada di jasad seorang nenek-nenek, aku tetap tak bisa membuang perasaan ini.  Sudah kubilang ‘kan? Aku mencintaimu karena kau adalah Lenne. Bukan karena kau cantik atau apa…”

Karena dia mencintaimu, dia akan menerima dirimu, apapun keadaanmu…

Aku akhirnya tak bisa lagi untuk tidak tersenyum.
“Shu, hari ini aku main ke rumahmu boleh tidak?”
“EH? Ke… kenapa tiba-tiba…”
“Oh, jadi tidak boleh? Ya sudah…”
“Bu… bukan begitu… Boleh, boleh. Tentu saja boleh!”

Dan karena dia mencintaimu dengan cinta semurni itu, maka satu kesempatan—walaupun bertajuk April Fool sekali pun-- rasanya cukup adil jika diberikan untuknya…

Human always want to have everything they WANT,
 but they always forget what they NEED. In fact, they do NOT know what they need.

No comments:

Post a Comment