"Mari Keluar dari Comfort Zone!"
Aku bosan mendengar kata-kata motivasi itu, sungguh.Apa pekerja yang berteriak begitu benar-benar ada dalam comfort zone mereka?
Aku seorang editor. Sejak SMP, itulah cita-citaku. Aku mengambil segala langkah untuk menggapai cita-cita sederhana itu ... dan kini aku telah berhasil. Lantas, tiap orang kini menilai aku telah berada dalam comfort zone. Mereka bilang itu berbahaya. Mereka bilang aku harus keluar dari comfort zone itu. Segera.
Aku pikir ini aneh. Sangat aneh.
Konsep comfort zone ini masih simpang siur. Aku sendiri punya pemahaman lain tentang hal ini. Comfort zone, seperti namanya, berarti 'zona/daerah nyaman'. Karena nyaman, orang akan sulit meninggalkannya. Pertanyaannya, mengapa harus meninggalkannya? Apakah kita membeli rumah yang nyaman untuk kemudian meninggalkannya?
Absurd.
Ketika seseorang masih ingin lebih, ingin yang lain, ingin mencoba ini dan itu, niscaya orang itu BELUM berada dalam comfort zone. Begitu pun dengan seseorang yang telah merasa nyaman, tetapi juga merasa jalan di tempat, niscaya orang itu BELUM berada dalam comfort zone. Comfort zone yang sebenarnya adalah zona tempat kita memiliki segalanya, mencapai segalanya, dan merasa bahagia serta tidak ada kekurangan apa pun.
Sekarang muncul argumen populer untuk membantah pernyataan di atas:
"Jika ada seorang pemulung dan dia MERASA telah memiliki segalanya, mencapai segalanya, dan merasa bahagia serta tidak ada kekurangan apa pun, bukankah pada kenyataannya ia tetap pemulung yang menyedihkan?"
Jawabannya: ya, pemulung itu menyedihkan ... BAGI ORANG LAIN YANG MELIHATNYA.
Kita harusnya ingat, kehidupan si pemulung milik pemulung itu sendiri. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan yang nyata-nyata berbeda dengan kebahagiaan kita. Makan nasi bungkus Rp4000-an adalah kebahagiaan si pemulung ketika bagi orang lain mungkin adalah musibah. Jika si pemulung sudah bahagia, ya bahagialah dia. Biarkan saja. Jangan dimanipulasi oleh konsep comfort zone yang beredar luas dan mencuci otak itu karena sesungguhnya, konsep ini pun melangkahi seni bersyukur.
Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri masing-masing:
"Sudahkah aku bahagia?"
"Sudahkah aku bahagia?"
Inti dari kehidupan ini adalah menggapai kebahagiaan. Jika sudah bahagia, kenapa harus repot-repot dan sok berpikiran maju dengan selalu berkata, "Ayo, keluar dari comfort zone"?
Orang-orang yang sok dan ambisius semacam ini tidak akan bahagia karena SELALU ada target di depan sebab mereka tidak mengerti seni bersyukur.
Lalu, akan muncul lagi argumen:
"Ya memang kita di dunia kerja harus terus menatap ke depan, lebih tinggi, dan tidak pernah berhenti. Itulah konsep profesionalitas!"
"Ya memang kita di dunia kerja harus terus menatap ke depan, lebih tinggi, dan tidak pernah berhenti. Itulah konsep profesionalitas!"
Orang-orang yang berargumen seperti ini bisa kita pastikan memang selalu akan maju. Namun, apakah mereka bahagia? Kepala mereka dijejali oleh "naik pangkat, naik pangkat" atau "cari tantangan baru, cari tantangan baru" sehingga melupakan tujuan hidup manusia itu sendiri: menggapai kebahagiaan.
Orang yang selalu mau maju memang sangat dicari perusahaan mana pun. Namun, yakinlah, orang-orang semacam ini nyaris tidak punya waktu untuk meraih kebahagiaan mereka sendiri saking sibuknya mengejar promosi. Mereka hanya tidur 2-3 jam sehari. Tidak boleh sakit. Selalu di bawah tekanan, dan itu berlangsung terus-menerus hingga akhir hayat, seperti lingkaran setan.
Ck ck ck. Kehidupan "keluar dari comfort zone" itu seperti neraka yang diiming-imingi surga, tetapi tentu surga itu tidak akan tiba. Sebab, sesungguhnya, surga itu ada di dekat kita, jika kita tahu seni bersyukur.
Nah, pilih mana: bersyukur atau terus "keluar dari comfort zone" sampai mampus?
Manusia diciptakan dengan sifat dasar tidak pernah puas.
Namun, kita tidak perlu bertekuk lutut pada sifat itu.
Bersyukurlah.
Posted via Blogaway
At the end, people will end up prefer in comfort one. Trust me.
ReplyDeleteExactly. Just how many times they should "get out from comfort zone" just to realize that very simple fact?
Delete